Cerpen ini dimuat pada koran Riau Pos tanggal 7 september 2014,
Senja ini, bayangkan saya sedang berdialog dengan Siti Nurbaya. Ya, Siti Nurbaya. Tokoh penting peradaban yang berasal dari Sumatera Barat itu. Yang namanya tak asing, bahkan sukses memengaruhi pola perubahan sikap seantero Bumi pertiwi.
Bayangkan kami berdua duduk tenang di serambi rumah, dengan meja kaca bundar diapit dua kursi kecil berlengan yang kami duduki. Lalu gagang cangkir berisi teh hangat yang meluapkan asap tipis sedang bergelayut di tangan kami masing-masing. Kami, saya dan Siti Nurbaya, sedang memandangi serbuk kemilau jingga ufuk barat. Menikmati momentum transisi hari ini.
Omong-omong, ini memang terdengar sedikit ganjil. Saya dan wanita itu memang terlahir dalam orde yang jauh berbeda. Dalam sengat harum nuansa alam yang sama sekali berbeda. Namun, ternyata kami merindukan senja yang sama. Hingga senja hari ini terpilih menjadi waktu yang tepat untuk perjumpaan kami.
Wajahnya tidak seperti yang saya bayangkan selama ini. Jika saya beranggapan bahwa wanita bernama Siti Nurbaya itu adalah sosok berahang tegas, dengan sebentuk kecil gelungan di rambutnya seumpama foto Kartini yang terpajang di museum-museum. Maka saya keliru, ia hanyalah wanita berpipi bundar dengan raut sedih yang menyayat hati. Matanya sayu bak lama menempuh terik perjalanan di gurun pasir. Setidaknya begitu yang saya temukan dari upaya memperhatikan wanita di samping saya itu. Sedang sedari tadi ia hanya berusaha tak ingin luput menatap matahari yang perlahan menenggelamkan setengah paruhnya. Kornea pada mata kecil wanita itu berkaca-kaca.
"Senja-mu pasti selalu indah." katanya, tanpa sedikit pun menggerakkan anggota tubuh-yang tampak begitu letih.
"Senja tidak pernah berubah, bukan?"
Siti Nurbaya menarik sedetik sudut bibirnya, membentuk simpul senyum sebelum menerawang ke arah yang lebih tinggi. "Senja memang tidak pernah berubah sejak kapan pun, namun tidak semua orang sempat berpikir untuk menikmatinya lebih mendalam, kan?"
Saya mengangguk setuju. "Dan anda juga pasti pernah merasakan senja seperti ini. Maksud saya, senja yang anda bilang dinikmati secara lebih mendalam."
Siti Nurbaya terkekeh, "Tidak, tentu saja tidak. Kau pasti sering mendengar atau menyaksikan riwayatku di buku otobiografi, atau bahkan di film-film kolosal." Wanita itu meletakkan gelas di genggamannya, membaurkan denting kecil pada meja kaca. Sesaat matanya mengikuti gerakan tangannya, sebelum kembali menerawang. "Menurutmu, saat usiaku seusiamu sekarang, aku dapat leluasa menikmati senja?"
Saya mendengus, membayangkan bagaimana dalam sebuah karya, kisah-kisah dieksploitasi sedemikian rupa, demi profit insan-insan yang mengaku peduli sejarah. "Saya rasa suguhan film kolosal terlalu berlebihan."
"Benar." Dagunya manggut-manggut. "Tapi setidaknya, itu cukup memberi representasi bahwa senjaku tidak sama dengan senjamu."
Baiklah, saya akan mencoba merangkai mozaik peristiwa yang menjadikan kesimpulan 'senjaku tidak sama dengan senjamu', seperti yang diucapkan wanita itu. Sejauh ini dalam bentuk karya apa pun, Siti Nurbaya selalu digambarkan sebagai korban perjodohan orang tuanya pada seorang konglomerat tua bernama Datuk Maringgi. Ia melakukan pemberontakan dengan pilihan orang tuanya itu. Disamping ia tidak terima sebagai anak yang dijadikan alat untuk membayar hutang orang tuanya, hatinya juga telah tertambat pada seorang lelaki bernama Samsul Bahri.
Saat itu usia Siti Nurbaya persis seperti usia saya saat ini, 20 tahun. Dan sekilas kemudian saya mengerti dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan wanita itu beberapa saat lalu. Saat ia seusia saya, tidak mungkin ia menyempatkan diri untuk sekadar menikmati senja. Pikirannya jelas berkecamuk oleh masalah perjodohan itu. Kelam menemani senjanya.
"Kalau begitu, anda dapat menikmati senja sesuka anda, di sini." Usul saya basa-basi.
Untuk kedua kalinya Siti Nurbaya memaksa bibirnya tertawa kecil. "Kedatanganku bukan untuk itu, Anak muda."
Tentu saja, bukan, saya tahu itu. Sejak pertama kali saya melihatnya datang dan menyalami tangan saya, lalu duduk, terdapat sirat penyesalan di wajah wanita itu. Seolah ada sudut gelap yang ingin ia sampaikan pada saya. Luka mendalam yang seumpama telah dipendamnya bertahun-tahun. Apa itu? Perkiraan saya, mengenai kisah hidupnya yang, mungkin, diceritakan secara keliru. Melalui saya, ia ingin meluruskan kisahnya.
***
"Apa anda akan menceritakan kebenaran jalan hidup anda pada saya?" tanya saya tidak sabar lagi.
"Mungkin jauh lebih penting daripada itu."
Saya memilih untuk mengangkat cangkir, dan menyesap hangat cairan yang perlahan membasahi lidah. Pahitnya teh yang diluar nalar, tak lebih mengherankan daripada rangkaian kalimat yang diucapkan wanita itu. Tanpa ingin terlihat bingung, saya menghela napas hati-hati. Seseorang yang kisah hidupnya menjadi teladan, bahkan tidak hanya untuk dirinya sendiri, mengatakan ada hal yang lebih penting daripada itu?
"Kau tampak bingung."
Saya menoleh, dan saat itu Siti Nurbaya benar-benar menatap lekat mata saya. "Siapa yang tidak bingung," aku saya jujur, nyatanya ekspresi wajah saya sulit diajak kompromi. "Semua orang pasti mengira perjodohan itu menjadi hal paling penting bagi Anda. Tapi, sekarang Anda sendiri yang mengatakan ada hal lain yang bahkan lebih penting dari itu."
"Begini," Siti Nurbaya berdeham. Saya meletakkan cangkir ke atas meja, dan bersiap mendengar cerita panjang sekaligus maksud dari pertemuan ini. "Sampai akhir hayatku, aku masih menganggap momentum perjodohan adalah hal paling menakutkan yang kualami. Hingga ternyata itu saja belum cukup, siapa sangka aku akan menanggung dosa-dosa kalian."
Saya mengernyit, wanita itu tak peduli, buktinya ia tetap melanjutkan pengakuannya. "Kalau boleh jujur, aku benci cerita hidupku menjadi familiar di telinga semua orang. Aku tidak menyangka akan meluas sedemikian hebat. Aku muak dengan cara kalian memahami kisahku."
Baik, sampai disini saya tidak tahu bagaimana otak saya bekerja, yang pasti wanita di samping saya itu semakin membingungkan.
"Manusia terlalu sering belajar dari pengecualian-pengecualian. Tanpa mau tahu mana yang paling dominan dan tepat diterapkan dalam kehidupan." Siti Nurbaya kembali menatap saya, mungkin untuk memastikan bahwa saya masih khusyuk menyimak. "Menurutmu, seberapa banyak orangtua yang benar-benar membenci anaknya sendiri?"
Saya tercekat. "Uh...eerr...maaf, saya sungguh tidak mengerti apa yang Anda bicarakan. Namun, untuk pertanyaan itu, saya kira tidak ada orang tua yang benar-benar membenci anak sendiri."
"Sebenarnya aku berharap kau mengatakan ada beberapa orangtua yang membenci anaknya, seperti ayah dan ibuku, misalnya. Tapi kau tidak mengatakannya, sehingga aku tidak memiliki tandingan pendapat. Dan, ya, aku sepakat denganmu... Tidak ada orangtua yang benar-benar benci pada anaknya. Bahkan orangtuaku. Mereka manyayangiku, kau tahu?"
"Saya tahu, terkadang kondisi selalu memaksa kita berbuat sesuatu, bukan?"
"Tepat sekali." wanita itu tersenyum puas, satu maksudnya telah terlaksana.
"Anda tadi berkata, bahwa anda menanggung dosa kami?"
Siti Nurbaya menarik lengan gelas kaca ke pangkuannya. Sejenak tertegun, sebelum meneguk perlahan isi di dalam gelas itu. Sementara ia menikmati sentuhan jeda, saya dibebat rasa tak sabar.
"Lihatlah dirimu itu," ia memiringkan kepalanya. "Kalian memang selalu tergesa-gesa."
Saya tertunduk malu sembari pura-pura menggamit cangkir dan meminumnya. Kata 'kalian' yang keluar dari mulut wanita itu membuat saya sedikit tidak nyaman. Terlepas kami yang memang terlahir dari zaman berbeda, wanita itu menjadikan kata 'kalian' seolah kami bukan sama-sama manusia.
"Dan memang karena ketergesa-gesaan kalian, itulah." raut Siti Nurbaya kembali merah padam. "Perempuan-perempuan di zaman kalian, ini, menjadikan namaku sebagai tameng ampuh untuk menentang orangtuanya sendiri."
"Dan lihatlah sinetron-sinetron itu," lanjutnya. "Kian sukses melahirkan anak-anak yang durhaka pada orangtuanya. Dimana, kondisi perjodohan selalu diposisikan pada hal yang buruk."
Kalimat itu menghujam perasaan saya. Kalimat itu mengingatkan saya pada kejadian tiga hari lalu.
***
Saya adalah anak bungsu dari dua kakak-beradik. Kakak saya adalah perempuan berusia duapuluh enam tahun dengan predikat dan karier gemilang yang bekerja sebagai manajer pemasaran dibidang properti yang produknya sudah malang melintang di media massa. Untuk kecerdasan otak, mungkin dialah yang paling unggul di keluarga kami. Lulusan Strata-2 Hubungan Internasional dengan indeks prestasi 3,73.
Tak ayal kami membutuhkan saran darinya mengenai problematika yang sering melanda keluarga kami. Termasuk saat saya dilema menentukan universitas yang paling tepat, kakak saya merekomendasikan ke universitas ternama kota ini. Atas dirinyalah saya diterima.
Hingga malam itu merubah segalanya. Kakak membawa seorang lelaki yang saat bicara pada ayah dan ibu menyemburkan bau alkohol. Ayah dan ibu tidak menginginkan kakak dengan lelaki itu, dan mereka menyarankan agar kakak lebih hati-hati memilih pendamping. Dan yang membuat saya tercengang, kakak berteriak sebelum meninggalkan kami.
"Ayah dan ibu pikir ini zaman Siti Nurbaya!"
Benarlah kata Siti Nurbaya.
***
"Andai saat itu aku dapat melihat keadaan sekarang. Aku akan lebih memilih perjodohan itu." Bulir bening luntur dari pelupuk Siti Nurbaya. Penyesalan mendalam sedang berkecamuk di pikirannya. "Karena faktanya, kejahatan seksual pada waktu itu tidak se-mengenaskan sekarang. Andai tiap perempuan mengikuti nasihat orangtuanya."
"Anda tidak bisa merubah sejarah yang telah lalu."
"Aku tahu. Itu kenapa aku datang."
Saya terhenyak ketika wanita itu menggenggam tangan saya, lalu membisikkan sesuatu di telinga saya. "Jangan biarkan aku menanggung dosa-dosa kalian." Bisikan itu begitu lembut hingga membuat saya terpejam.
Setelah itu saya sama sekali tidak ingin membuka mata. Saya tidak siap untuk melihat apa yang ada di hadapan saya sebenarnya. Lagipula ini terlalu nyata...
Relly A. Vinata
Adalah mahasiswa ilmu komunikasi UMRI, peresap gelap,
penjelajah sepi, penggembala imajinasi.
@RAVWS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar