Dalam warisan sejarah yang acapkali memenuhi perbincangan di meja makan dan kami yakini betul kesahihannya adalah nenek moyang kami terlahir dari abu tungku perapian. Kukira, kami cukup beruntung memiliki Buyut Sora yang dikaruniai umur panjang dan bersiteguh layaknya sahibulhikayat. Tiga malam lalu kami merayakan ulangtahunnya ke-104 di rumah besar dengan seremoni sederhana. Setelah kenyang menyantap hidangan prasmanan yang dimasak Bibi Nan, di hadapan para cicit, Buyut Sora bertunaikan hasrat lewat daya tuturnya. Lesehan pualam teras ditemani bebunyian Tonggeret seolah tak rela kami, para cicit, melupakan susur galur dan silsilah keluarga.
Konon, katanya, hiduplah seorang wanita tunawisma yang sepanjang hayat tak pernah dipersunting. Lusuh tubuh, malang nasib membuat tak seorang pun lelaki mau menjadi suaminya. Hingga ia menua dan hidup sebatang kara meneduh dangau pengap beratapkan rumbia.
Sampai pada suatu perjumpaan ganjil di pagi lembap yang mengidikkan tengkuk, ia tengah meniup tungku memancing bara melalui sepotong kecil bambu. Di atasnya menumpu panci berisi beras dan air yang akan ditanak jadi nasi. Disela tiupan yang tak kunjung memercikkan api, wanita itu melamun. Berandai-andai perihal adakah seseorang bisa membantunya. Siapa sangka pagi itu Batara Dewa seperti memurahkan segala pinta dan mendengar keluhan si wanita. Maka tatkala wanita itu terbatuk-batuk akibat kepul abu, menyusul kemudian letupan kecil. Wanita tua itu tersentak. Belum berkurang rasa kagetnya ia terjengkang melemparkan bambu dari genggamannya. Di antara gumpal debu yang perlahan menyusut, tiba-tiba sudah berdiri seorang perempuan belia berparas cantik jelita. Begitu saja. Memandanginya penuh iba. Kelak, berpilin waktu perempuan itu diberi nama Cinen dan diangkat menjadi anak oleh wanita tua itu. Dan perempuan yang lahir dari keajaiban itulah, Buyut Sora bilang sebagai cikal bakal nenek moyang kami.
"Itu mengapa orang-orang sering menyebut kita sebagai keluarga Cinen?" Tanya lelaki kecil yang tangan kanannya bersandar pada paha Buyut Sora, sementera tangan kirinya sibuk mengelap ingus. Toran namanya, anak kedua Paman Gio, kami beda nenek. Sejenak Buyut Sora mengusap kepala Toran, tersenyum dan mengangguk satu kali, sebelum melanjutkan ceritanya.Terkadang hal-hal seperti ini yang membuatku dan sepupu-sepupu lainnya lebih berminat mendengar Buyut Sora berkisah, ketimbang duduk di sebelah ayah ibu kami berkumpul membahas hal basa-basi yang juntrungannya tak kami mengerti. Isu pemerintahan misalnya, naiknya harga mentega, atau masalah sendang di samping rumah yang belakangan tersumpal sampah plastik dan popok bayi.
Cinen, Buyut melanjutkan, dengan segala kelebihan yang dimilikinya tak butuh waktu lama menjadi juru masak tersohor. Bagaimana bisa? Yakni berawal ketika ia mengambil alih tugas memasak di dangau reot itu.
"Aih, sedap nian masakanmu, Cinen!" Sanjung ibu angkatnya pertama kali mencicip. Padahal yang ia masak hanya sejenis kudapan jamur tiram. Namun begitulah, mulanya lewat segelintir penderes Nipah yang tanpa sengaja singgah ke dangau mereka lantaran mencium aroma menggiurkan dari arah dapur, lantas racikan yang dimasak Cinen hari itu disuguhkan pulalah untuk para tetamu mendadak itu. Ini bukan membesar-besarkan, tapi setelah melakukan santapan pertama tiada yang sanggup menahan perangah. Keesokan harinya para penderes rela menukarkan gula nira demi bisa mencicipi masakan Cinen. Singkat saja terkabarlah ke seantero kampung bahwa wanita tua penunggu dangau memiliki anak yang masakannya lezat bukan main. Termasyurlah nama Cinen menjadi buah bibir meski penyandangnya baru menyadari ketika seorang utusan saudagar tiba bertandang.
"Tuan kami lama sudah tak dimanjakan lidahnya, kiranya Cinen bersudi sedia mengabdi diri sebagai juru masak di kediaman tuan." Begitu menggiurkan tawaran itu seiring dorongan peti kecil, di lambungnya berpunuk logam emas.
Semenjak datangnya tawaran itu Cinen menjadi abdi juru masak keluarga besar saudagar. Turut serta kehidupan ibu angkatnya perlahan-lahan membaik. Bahkan, singkat cerita, elok paras elok perangai mengundang hasrat seorang putra saudagar untuk meminangnya jadi istri. Terangkat kemudian harkat dan martabat Cinen.
Di akhir kisahnya, selaksa cerita dongeng yang bermuara bahagia, Buyut Sora tak pernah luput menyisipkan petuah.
"Begitulah darah Cinen," katanya, "tinggi derajatnya, rendah hatinya. Karena kita sadar, kita dilahirkan dari abu dan akan dikembalikan pada abu pula."
Bagi sebagian orang, bahkan aku sendiri pun pernah meragukan kebenaran muasal cerita nenek moyang kami itu. Tapi bagai imbas terayun bandul waktu, jika melihat apa yang terjadi dalam keluarga ini, semua menjadi masuk akal. Bayangkan, saat kebutuhan rumah tangga telah dipermudah dengan segala bentuk peralatan elektronik, dalam hal memasak kami bersitekad tetap menggunakan tungku. Aku juga ingat keluarga Cinen dikenal sebagai keluarga yang terampil memasak oleh sebagian besar penduduk kota ini. Ibu dan bibi-bibi yang lain punya keahlian mengolah makanan sehingga memiliki citarasa sedap, meski diantara semua itu Bibi Nan masih belum ada tandingannya. Mungkin sebab itu ia berhasil mendirikan restoran megah dengan ratusan outlet dan ribuan pegawai tersebar di kota-kota lain.
Seakan mengukuhkan takdir Cinen adalah orang-orang yang memiliki derajat tinggi, beberapa pamanku duduk pada posisi terhormat negeri ini. Dari Paman Sano yang menjadi biro kepegawaian instansi pemerintahan kota, sampai Paman Tobi yang dipercaya sebagai diplomat untuk mengurusi kebijakan luar negeri maupun hubungan bilateral dengan negara tetangga. Lain halnya dengan ayah dan beberapa bibi yang memilih meneruskan bisnis properti peninggalan kakek. Jika ayah kerap hibuk dengan upaya pemenangan tender demi pembangunan rumah siap huni, Bibi Lio lebih berani berinvestasi besar-besaran pada pendirian apartement mewah. Tentu, dengan keuntungan dan resiko yang besar pula.
"Buyut..." bahuku sedikit terguncang, ternyata perempuan di sebelah kananku yang berkata. Aku menoleh dan mendapati raut kebingungan di wajah Dania. "Kenapa hanya tungku Bibi Nan yang dinamai Cinen, sementara tungku di rumah kami tidak?"
Buyut Sora menarik tiap sudut bibirnya ke atas, "Karena Nan, bibi kalian itu adalah orang yang berhak mewarisi Tungku Cinen. Dan persis di tungku itulah dahulu Cinen dilahirkan."
Mendengar itu, sontak semua mata tertuju pada seorang perempuan lain yang sedari tadi hanya tertunduk malu-malu. Kuamati tatapan-tatapan itu sebagian menyiratkan kagum, sebagian lainnnya, percaya atau tidak, bagai memendam rasa iri. Tatapan itu tertuju pada Erlin, anak perempuan satu-satunya Bibi Nan.
Terlepas dari segala pangkat, sewajarnya tonggak penghargaan paling tinggi tertuju pada Bibi Nan. Pewaris tunggal Tungku Cinen menjadi semacam prestise tersendiri di keluarga ini. Kemahiran memasak juga diyakini pada arterinya dialiri darah murni Cinen. Dalam hal ini mengejawantah sebagai titisan dan atau reinkarnasi perwujudan Cinen itu sendiri. Maka tak heran malam penuh cerita itu diakhiri perbincangan janggal antara ayah dan ibu. Sesaat setelah kami meninggalkan rumah besar yang ditinggali Buyut Sora dan Bibi Nan. Di bangku penumpang, setengah terjaga tanpa sengaja telingaku mendengar perbincangan mereka.
"Keterlaluan benar istri Gio," ayah membuka percakapan seraya mengatur kemudi mobil, "jelas terlalu dini membahas warisan Tungku Cinen. Kau dengar, ia baru saja melanggar konvensi dengan mengatakan anak pertamanya pantas menyandang pewaris selanjutnya karena memiliki bakat alami memasak. Siapa tadi namanya, Sonia, Tania?"
"Dania." Jawab ibu tak kalah ketus.
"Ah, ya Dania. Bahkan anak itu baru kelas enam, masih terlampau kecil, sama usianya dengan Lien.." tubuhku berjengit mendengar namaku disebut, untunglah ayah dan ibu tidak menoleh menyadarinya.
"Tapi pembahasan semacam itu sepertinya memang diperlukan sedari awal. Jika kau lihat bagaimana mata Nan membelalak setelah mendengar usulan dari wanita itu, sepertinya dia juga tak rela jika Tungku Cinen tak terwaris pada anaknya sendiri."
Ayah manggut-manggut setuju. Sedetik kemudian menggeleng seraya mempercepat laju mobil, "Benar-benar omong-kosong mereka."
Setelah pembicaraan singkat di mobil itu, perlakuan ibu terhadapku menjadi sedikit berbeda. Setindak demi setindak memaksaku agar bisa memasak. Sepulang sekolah, ibu sudah ada di depan pintu seakan ia benar-benar mengharap kepulanganku. Setelah itu aku akan digiring menuju dapur. Setiap kali kutanyakan kenapa, ibu hanya menjawab sebagai perempuan aku harus bisa memasak. Tak terhitung berapa kali jari mungilku tersayat oleh tajamnya bilah pisau. Malamnya aku harus menahan perih tatkala harus mengerjakan tugas sekolah. Setali tiga uang, saat menanyai perihal ini pada ayah, aku justru mendapat jawaban sekenanya. Laksanakan saja keinginan ibumu, begitu titahnya. Mau tidak mau aku berprasangka pikiran ibu sudah dipenuhi dengan warisan Tungku Cinen.
Tak jarang aku membohongi ibu dengan alasan tugas kelompok agar bisa mangkir dari pekerjaan itu. Petang hari aku baru berniat pulang. Suatu kali, aku pulang kemalaman dan sudah siap menerima segala bentuk kemarahan ibu. Tapi aku justru melihat ibu dan ayah duduk di sofa dengan keadaan limbung. Ternyata mereka baru saja menerima kabar via telepon bahwa Tungku Cinen hilang!
Entahlah, terkait kabar itu membuatku sedih atau senang karena terbebas dari tuntutan. Namun belum reda rasanya kabar duka itu, telepon kedua yang datangnya dari Bibi Nan mengagetkan kami. Buyut Sora jatuh tak sadar diri dan dirujuk ke rumah sakit. Seketika kami bergegas malam itu juga. Di tengah perjalanan, dalam balutan kegemingan canggung, untuk ketigakalinya smartphone ayah berdering. Dengan isak paling pilu yang pernah kudengar, Bibi Nan menyarankan kami agar segera menuju rumah besar. Karena jasad Buyut Sora sudah dibawa ke rumah besar. Deg!
Sepanjang jalan ruangan mobil dipenuhi senggukan tangis ibu. Sesekali sebelah tangan ayah mengusap pundaknya meski di balik kacamatanya sendiri air tak henti berderai. Sementera aku meringkuk kaku di kursi belakang. Tangis ibu pecah ketika mobil memasuki pekarangan rumah besar dan ambulance sudah terparkir di sana.
Kami berhambur memasuki rumah yang telah sesak oleh seluruh keluarga yang datang. Dalam suasana berkabung, tiap sudut ruang penuh oleh rintihan menyayat hati. Menyeretku masuk dalam suasana memilukan itu. Sebelum melihat jasad Buyut, mataku menangkap Erlin berdiri di sudut ruangan yang agak jauh dari kerumunan. Basah pipinya. Sebagai cicit yang sehari-hari tinggal bersama Buyut Sora, tentu ia yang paling terpukul. Aku menghampirinya, mengucap turut berduka cita, menguatkan dan memeluknya sebentar.
"Kau tahu, Lien, ini cara terbaik dari berbagai kematian yang mungkin Buyut Sora harapkan." Sontak saja aku terkesiap, bagaimana mungkin diantara isaknya Erlin berkata demikian. Namun tanpa sedikit pun merasa sesal, perempuan itu justru melanjutkan. "Kau mungkin berpikir hilangnya Tungku Cinen mengakibatkan tubuhnya lemah, jatuh sakit, dan sekarang meninggalkan kita semua. Kenyataannya, itu seperti membebaskannya untuk tenang mengatupkan usia."
Beberapa hari sebelumnya rumah besar dihadiri oleh sekumpulan orang. Meskipun tidak bertepatan dengan perayaan atau acara apa pun. Beberapa orang paman dan bibi ada di dalamnya, termasuk ayahku, kata Erlin. Ia mencuri dengar pembicaraan alot yang terjadi. Erlin juga melihat Buyut Sora menghela napas berat beberapa kali, tak habis pikir dengan segenap keserakahan terbungkus gebu urat bersitegang.
"Akhirnya semua kepala tertunduk setelah Buyut Sora dengan bibir bergetar berkata, 'Cinen tidak akan dipilih oleh pewaris mana pun. Cinen akan memilih sendiri hati baik pemiliknya!'" Tutup Erlin masih terisak.
Sekali lagi aku mengusap tubuhnya dan mengangguk mafhum. Setelahnya, kakiku perlahan bergerak mendekati peti mati. Di dalamnya tubuh Buyut Sora berbaring dingin. Tubuh itu esok hari akan dilebur dalam ritual kremasi. Aku melongok dan mendapati wajah pucat wanita tua itu menyunggingkan senyum. Pada lipatan di mulutnya aku membayangkan saat ini pastilah bebannya terlepas karena Tungku Cinen telah memilih sendiri pewarisnya. Seketika juga aku teringat dua kalimatnya, seperti yang dituturkan Erlin, 'Cinen tidak akan dipilih oleh pewaris mana pun. Cinen akan memilih sendiri hati baik pemiliknya!'. Mungkin ucapannya memang benar, meski aku tak bisa mempercayai sepenuhnya. Karena, andai saja Buyut Sora dapat mendengar, aku ingin sekali berkata padanya bahwa ia tak perlu khawatir. Tungku Cinen berada di tempat yang aman.
Buyut, tenanglah di surga...
Relly A Vinata
Lahir pada 12 Mei 1993, di Kuantan Singingi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar