Bau anyir menyeruak dari bilik sebuah gudang pabrik roti. Patok-patok police line mengelilingi bangunan super megah bereklame Herbert's Bakery itu. Rintik hujan serta petir intensitas ringan tak menyurutkan ratusan orang untuk berkerumun layaknya semut menemukan sumber glukosa. Beberapa di antaranya menjepit hidung seraya menjulur-julurkan kepala, alih-alih dapat mengintip keadaan yang sedang terjadi di dalam. Sebagian lainnya memilih bergerombol membisikkan spekulasi asal dari mulut masing-masing.
Pada sisi Mosley Street yang becek, seorang lelaki berjubah kulit hitam dengan topi senada keluar dari SUV merah marun. Membentangkan payung besar lantas berjalan menyibak pelastik garis kuning. Dari arah dalam seorang berbadan tinggi besar, berwajah pipih serupa ikan pari, serta berseragam polisi buru-buru menghentikan langkah lelaki itu.
"Tetap di sana, Sir. Anda tidak diperbolehkan masuk!" Tegas polisi itu memperingatkan.
Lelaki itu berhenti sejenak, mendongak kepala dan hanya menjawab singkat, "aku yang menyelidiki kasus ini."
"Oh, maaf, Detektif..." Si polisi terlihat kuncup dan salah tingkah. "Mari saya antar ke dalam."
Detektif itu digiring melalui lorong tanpa penerangan. Lalu melintas koridor metalik yang diapit mesin-mesin produksi. Setelah dua kali menuruni tangga beton, mereka sampai pada sebuah ruangan yang lebih mirip bunker ketimbang pabrik. Bau kian menyengat saat Detektif melihat beberapa polisi lain mengerubung di satu titik, juga seorang perempuan muda berpakaian putih yang diperkirakan sebagai seorang dokter. Kesemuanya memakai pembungkus di mulutnya.
Menyadari kehadiran Detektif, perempuan tadi memberikannya masker.
"Sudah berapa lama?" Tanya Detektif sembari memakai kain hijau muda yang baru saja didapatnya.
"Dari proses membusuknya, kemungkinan lebih dari tiga hari, Det."
Detektif bergerak dan mengamati seonggok daging pucat yang di beberapa bagian berlubang oleh lalat-lalat berkerubung. Mayat seorang lelaki paruh baya dengan pupil yang telah samar, seolah melebur bersama korneanya. Mulutnya sedikit menganga dan sesuatu terlihat bergerak-gerak di dalamnya, belatung mungkin mulai bersarang di sana.
Detektif berbalik dan melihat beberapa polisi yang berdiri memepet tembok, "apa ada yang kalian temukan sebelum ini?"
"Sepucuk revolver kaliber .44 rakitan, kami menduga ia menembak diri sendiri. Saat menemukannya, pistol itu berlumuran darah kering di samping kepalanya."
Detektif mengangguk, lalu sekali lagi memperhatikan manusia tanpa nyawa di bawahnya. Sempat dua kali memutari tubuh itu sebelum ia berjongkok tepat di samping kepalanya yang terkulai.
Lubang dalam yang menjorok di antara kedua pelipis menandakan proyektil peluru meremukkan tengkoraknya melalui dahi depan. Itu sebuah kejanggalan. Untuk upaya menghilangkan nyawa sendiri dengan selongsong pistol, posisi itu jelas tidak ideal.
"Ini bukan aksi bunuh diri," simpul sang detektif.
***
Zul mengembus panjang asap tipis dari mulutnya, merelakan zat samar itu membubuh lalu hilang ditelan malam. Ia sedang duduk pada kursi malas yang beberapa saat lalu digotongnya ke beranda samping rumah. Di tempat itu, Zul dapat sedikit merasa lebih tenang dengan menghisap cerutu dan sesekali mendengar dengung musik klasik dari hiruk-pikuk Manchester.
Siang tadi ia bersitegang dengan Herbert, bosnya di pabrik roti. Nyaris tiga bulan terakhir Zul bekerja tanpa bayaran belum juga cukup menutupi hutang-hutangnya pada Herbert. Sebagai imigran yang belum genap dua tahun, ia belum mampu mengkondisikan gaji dan kebutuhan. Sekali waktu ia merasa gajinya besar, namun di sisi lain ia juga tidak menyadari jika kebutuhannya tidak semurah di negara asalnya. Maka pengeluarannya selalu membengkak diluar dugaan. Di samping ia harus membayar hutang, kini ia juga harus mencukupi kebutuhan keluarga. Imbasnya yang ia lakukan hanya memperpanjang jadwal hutang yang semestinya lunas dalam waktu singkat.
Beberapa hari lalu Irene, anak perempuan satu-satunya yang ia beranikan untuk kuliah di college ternama kota ini, menagih uang semester. Maka mau tidak mau Zul harus memberanikan diri bertandang ke rumah Herbert.
"Hutangmu itu, Bung, belum akan terbayar sampai setahun menjelang. Sekarang malah mau minjam lagi."
"Tolonglah, Sir, ini demi sekolah anak saya..."
Lelaki tambun berkumis coklat lebat di seberang meja mengangkat sebelah kakinya dan menumpu pada paha kaki lainnya. "Andai kau berkata demi Tuhan pun, takkan kuberi."
"Kumohon, aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk itu."
Herbert menyatukan ujung telunjuk dan ujung jempol, mengarahkannya di tengah bawah hidungnya yang bengkok, lalu seakan melakukan gerakan membelah menyusuri rambut-rambut tebal yang tumbuh di sana. Jujur saja, siapa pun akan muak melihat tingkahnya. "Beri aku jaminan."
Zul mengerjap, berusaha mengingat-ingat barang apa yang dapat dijadikannya jaminan. Hampir ia putus asa dibuatnya, kalau saja Herbert tak segera mengibaskan tangan di udara. "Aku tahu kau tak punya barang apa pun. Sudahlah, jangan berlama-lama, bagaimana kalau istrimu?"
Sontak saja tubuh Zul menegang, darah mengumpul di kepalanya dan matanya yang beberapa detik lalu melotot berubah merah seakan siap membakar ruangan itu. Di bawah meja tangannya sudah mengepal erat.
"Oh, tentu saja bukan istrimu, bukankah ia sudah tampak begitu keriput. Bagaimana kalau anakmu saja?"
Cukup! Meja di depan mereka terjungkal menyerakkan kepingan kaca di lantai. Tungkai Zul baru saja menghempasnya. Kini tak ada sekat yang memisahkan dua lelaki itu. Dengan gerakan cepat tangan Zul mengayun dan mendarat tepat di wajah Herbert. Lelaki tambun itu tersungkur merintih di antara puing-puing kaca. Pada kumis yang tadinya diperlakukan manja, cairan merah kental menetes. Zul berbalik meninggalkan ruangan itu dengan bibir yang masih mengatup rapat. Ketika lelaki tak berdaya di belakangnya mencoba berteriak, Zul tak peduli.
"Akan kubuat perhitungan atas semua yang kaulakukan ini, Keparat!!"
***
Setelah memasukkan beberapa sampel ke kantong pelastik dan menyerahkan pada Dokter perempuan, Detektif memanggil polisi yang semula membawanya ke tempat itu. "Antar aku menemui pemilik tempat ini."
Polisi itu mengangguk dan bergerak ke lorong lain. Pada salah satu koridor, mereka melewati dua orang perempuan lusuh yang saling berpelukan. Ada beberapa hidangan tak tersentuh di depannya. "Yang tua itu istri korban, sedangkan yang lebih muda anaknya. Mereka tak henti menangis, maka kami harus mengisolasikan mereka di sini," terang polisi. Detektif melihat sepintas sebelum mempercepat langkahnya.
Mereka sampai pada sebuah ruangan yang dihuni tiga orang lelaki. Dua lelaki berseragam polisi, sementara satu lainnya tampak duduk dengan raut kacau. Mengetahui Detektif ada di sana, ia berjengit.
"Bukan..., aku berani bersumpah... bukan aku pembunuhnya."
"Tenang, Sir," ujar polisi yang datang bersama Detektif, "ia hanya akan memberikan beberapa pertanyaan."
"Apakah dia membawa borgol?"
***
Desing mesin masih beroperasi memutar adonan. Di ruangan itu hanya tampak satu orang yang tengah membuka freezer dan mengambil sebotol biang untuk dilarutkan bersama adonan roti. Bukan waktu normal bekerja di waktu sepertiga malam. Tapi itu konsekuensi yang mesti Zul terima. Di saat pekerja lain telah mengadu kepalanya di bantal empuk, ia harus bekerja dua kali lipat. Sebagaimana telah menjadi kesepakatannya bersama Herbert.
Sejatinya kesepakatan itu begitu ganjil baginya. Setelah Zul menyarangkan tinju ke wajah Herbert, keesokan harinya lelaki tambun itu bertandang dengan diapit dua orang berbadan kekar. Sebelum membuka pintu, Zul menyelipkan pisau pemotong ikan di bawah meja. Andai kedatangan Herbert sesuai prediksinya, maka ia sudah siap melorot pisau itu dari sana dan menghujam satu-persatu tamunya. Tapi sampai tiga lelaki itu menghilang dari halaman rumahnya, pisau itu tetap berada di sana.
Brukk!
Beberapa gepok poundsterling jatuh di atas meja. Zul menelan ludah, sementara lelaki tambun di seberang terpingkal-pingkal seolah keadaan itu sudah terpeta jelas sebelum kedatangannya. "Anggap saja aku berbaik hati, tapi mulai sekarang kau harus lembur melebihi karyawanku lainnya. Tentu saja karena mereka tidak memiliki hutang, sepertimu."
Ada gelagat picik yang Zul tangkap dari intonasi bicara dan tatapan Herbert. Tapi melihat lembaran-lembaran uang di depan matanya, ia tak memiliki pertimbangan untuk menolak.
Maka sesungguhnyalah, ia tak lagi memikirkan jika sekarang peluhnya seakan menyerah lebih dulu karena terperas sejak siang. Malamnya berteman mesin-mesin.
Dituangkan biang ke dalam adonan yang mulai mengental. Ia sadar akan sesuatu ketika pada sisi atas tangannya beralih gelap tertindih bayangan. Ia berbalik dan melihat sebuah siluet menghalangi lampu penerangan. Satu detik berikutnya dari siluet itu percikan api keluar disertai desing aneh yang terlambat Zul pahami. Seketika ia terhuyung dan ambruk. Pandangannya beranjak lamur, telinganya kehilangan suara-suara. Hanya cairan perlahan menggenang di pipi bawah yang dapat ia rasakan. Ia sempat menyaksikan bagaimana siluet itu bergerak mendekat, mengangkat kepalanya, dan mencium keningnya.
***
Cahaya yang masuk melalui ventilasi tak memberi penerangan cukup untuk mengenali wajah dua orang di ruangan itu. Ujung dari cahaya itu menubruk meja yang memisahkan satu lelaki tambun dan satu perempuan yang rambutnya tergerai. Agaknya ruangan pengap itu sengaja menjadi tempat pertemuan yang tepat.
Sebuah janji akan kehidupan layak telah dilontarkan. Kini ruangan itu diulum senyap. Hingga suara sekecil apa pun akan peka ditangkap indera. Termasuk bunyi tetes air yang membulir di wajah perempuan. Tubuhnya menggigil ketika suara gesekan terdengar. Cahaya meja dilewati putaran benda hitam berbentuk huruf L.
"Malam ini dia ada di sana, lakukan apa yang harus kau lakukan."
Perempuan itu memandangi revolver di depan bola matanya yang penuh kelindan. Melihat bagaimana benda mematikan itu... menunggu gamitan tangannya.***
Relly A Vinata
Lahir di Kuantan Singingi, Riau, 12 Mei 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar