Napas Jave tercekat, seiring perlahan keringat dingin melumuri guratan di dahi lelaki itu. Andai tadi ia terlambat sepersekian detik saja memijak tuas rem, mobilnya pasti sudah menabrak seorang nenek yang tengah tertatih menyeberang jalan. Ini salahnya, jelas, karena bersikap terlalu terburu-buru.
Kemudian Jave bergegas keluar meninggalkan kemudi dan membanting pintu. Nenek itu terjatuh meski tak ada semburat lecet pada tubuhnya, begitu juga dengan bumper mobil yang terlihat baik-baik saja. Jave berupaya memapahnya berdiri.
"Saya antar ke rumah sakit, ya, Nek?"
"Tidak, tidak apa-apa, cuma sedikit kaget."
Karena memang tidak terjadi benturan serius, lantas Jave mengiringi nenek itu menyeberangi jalan. Beberapa kali ia mengucap maaf sebelum melanjutkan perjalanan. Pikiran Jave tidak mampu untuk fokus, bayangannya kalut oleh situasi yang akan segera ia hadapi.
Satu jam yang lalu ia masih duduk tenang pada sebuah boutique ternama kota itu. Memandangi seorang perempuan yang sedang memutar-mutar tubuh di depan refleksi cermin besar. Bergaun putih dengan renda-renda yang menjuntai dari pinggang hingga menutupi telapak kakinya. Gaun itu akan ia kenakan pada hari akad nikahnya. Perempuan itu Balqis, seorang yang akan menjadi istri Jave pada esok hari. Mereka sedang melakukan fitting busana pengantin.
Seorang designer muda yang sedang sibuk memasang pernak-pernik di rambut Balqis, tak kuasa untuk berkali-kali mendecak kagum.
"Ya Tuhan, Nona, anda cantik sekali."
Seperti tak cukup dengan sanjungan itu, Balqis membalikkan badan, meminta Jave menilainya. Tanpa ragu sedikit pun, Jave mengangguk seraya tersenyum. Sebuah hal yang cukup untuk memunculkan semu merah di pipi perempuan itu.
Jave tidak berbohong mengenai hal itu. Sejak setahun terakhir kebersamaannya dengan Balqis, tak sekali pun Jave melihat perempuan itu tampil berantakan. Dengan segala yang membalut tubuhnya, Balqis selalu tampil anggun. Dan agaknya orangtuanya tidak salah menyematkan nama itu padanya.
Layaknya penggambaran ratu Balqis pada kekhalifahan Sulaiman nan cantik jelita, perempuan itu teranugerah dengan paras kelembutan yang begitu nyata. Hanya jika ratu Balqis adalah seorang pemimpin dan memiliki wilayah kekuasaan, maka tidak bagi Balqis yang menemani hari-hari Jave. Balqis merupakan perempuan manja yang ditakdirkan terlahir sebagai bungsu kesayangan ibunya. Senyum polos serta tangis harunya seolah hanya pantas diperlakukan dengan kasih serta sayang. Tuturnya mengalun lembut lagi hangat. Singkatnya, Jave merasa beruntung mendapatkan perempuan itu.
Hingga sebuah pesan singkat mendarat dan menggetarkan telepon selulernya, bertuliskan: "Datang..., atau aku akan bunuh diri."
Jave mengernyit, telepon itu tergenggam kuat di tangannya. Ia tahu persis siapa pengirim pesan itu. Sesaat ia melihat calon istrinya, memastikan perempuan itu masih sibuk dengan gaunnya, lalu membalas pesan itu.
"Jangan bertindak bodoh kamu."
"Terserah, yang jelas aku tidak sedang bermain-main, Jave!"
***
Pesan itu bagai teror yang memaksa Jave memacu mobilnya sekencang mungkin. Diam-diam ia melindap keluar dan meninggalkan Balqis seorang diri di dalam boutique. Pikirannya dipenuhi oleh kalimat ancaman pada aksara pesan itu, hingga ia nyaris mencelakakan seorang nenek. Pesan itu seperti titah yang tak mampu ditolak nalar Jave.
***
Pesan itu bagai teror yang memaksa Jave memacu mobilnya sekencang mungkin. Diam-diam ia melindap keluar dan meninggalkan Balqis seorang diri di dalam boutique. Pikirannya dipenuhi oleh kalimat ancaman pada aksara pesan itu, hingga ia nyaris mencelakakan seorang nenek. Pesan itu seperti titah yang tak mampu ditolak nalar Jave.
Pesan itu dari Alifia.
Seseorang yang pernah hadir dan menjadi kekasihnya terakhir kali tatkala Jave masih menjadi seorang mahasiswa tingkat akhir. Enam tahun lamanya ia menjalin hubungan dengan Alifia. Semenjak mereka menjejak sekolah menengah atas. Hubungan itu terus berlanjut walau Jave memutuskan untuk terus melanjutkan kuliah, sementara Alifia tidak. Jave tetap mencintai Alifia dengan sebagaimana mestinya, dengan segenap kesetiaan yang terus ia jaga.
Sampai pada sebuah malam yang masih amat lekat diingatan Jave, tepatnya tiga tahun lalu, Alifia mengetuk pintu kamar kost kumuh lelaki itu. Bibirnya beku dan rambutnya lepek karena basah. Di luar hujan berpetir. Jave membalutkan sehelai handuk, dan memeluknya dalam-dalam sebelum mendudukkan wanita itu ke sofa.
"Apa yang membuatmu nekad begini, Alifia?" tanya Jave khawatir. Sebelah tangannya masih merangkul erat pundak wanita itu. Ia juga beberapa kali merasakan goncangan secara tiba-tiba dari tubuh ringkihnya.
Alifia tak langsung menjawab, karena bibirnya tak henti bergetar. Maka Jave beralih dan menuangkan segelas air hangat dari termos kecil, dan menyodorkannya pada wanita yang memeluk lutut di sofanya.
Lama Alifia melingkarkan kedua telapak tangannya pada bibir gelas, menanti buku-buku jemarinya menghangat, sebelum perlahan menyesapnya. Ketika cairan yang mengaliri kerongkongannya berhasil membuatnya sedikit lebih tenang, Alifia berkata lirih.
"Nikahi aku, Jave..."
Jave menghela napas sesaat. Ia sama sekali tidak kaget dengan permintaan itu. Bahkan sejak mereka baru saja lulus sekolah, Alifia telah yakin dan mengutarakan hal itu padanya. Kala itu Jave berhasil menolak dengan halus, dan meminta wanita itu untuk sedikit bersabar, setidaknya sampai Jave lulus kuliah dan memiliki pekerjaan tetap. Kala itu juga Alifia setuju.
Jave menggamit ujung basah rambut Alifia, lantas memyampirkannya di atas telinga wanita itu sembari berbisik, "Tidak secepat itu, Lif."
"Kenapa tidak? Harus sampai kapan lagi aku menunggu?"
"Tentu kamu masih ingat saat aku pertama kali mengatakannya, dan aku tidak yakin kamu sudah lupa mengenai hal itu. Jadi, seharusnya kamu mengerti sampai kapan harus menunggu."
Perkataan itu berubah bagai cambuk pedih di telinga Alifia. Yang menyebabkan matanya membulat sempurna. "Nikahi aku secepatnya, atau tidak pernah selamanya!"
Alifia memang keras kepala, Jave tahu persis tentang itu. "Bukankah dulu kita pernah bicara mengenai diskusi semacam ini. Lalu kenapa tiba-tiba kamu seperti tidak sabaran begitu?"
"Karena semua tidak sama lagi, Jave!"
"Apa yang membuat semua jadi tidak sama lagi?"
"Seseorang telah mengawiniku, dan saat ini janin tumbuh di rahimku. Aku tidak mau menikah dengan lelaki pengangguran itu, aku ingin kau yang menjadi suamiku."
Palu telak baru saja menghujam dada Jave. Lelaki itu limbung, matanya berkunang-kunang, bahkan sesaat ia lupa bernapas. Lihatlah, tidakkah pengakuan dari wanita itu terkesan diucapkan dengan begitu ringannya? Selama ini Alifia menjalin hubungan dengan orang lain, ketika Jave berusaha mati-matian menjaga kesetiaannya. Alifia berselingkuh, itu kenyataannya, dan Jave ingin menampar wanita itu. Tapi ia menggeleng dan justru memeras kepalanya sendiri, berkali-kali meyakinkan diri-sendiri bahwa ia bukan lelaki seperti itu. Maka Jave hanya menyambar gelas yang dipegang erat Alifia. Di tangan Jave, gelas itu berayun satu kali, meluncur dan menimbulkan dentam saat bersentuhan dengan lantai, lalu pecah berkeping-keping.
Alifia meringkuk di sudut kursi, mendadak rona ketakutan membias dari wajah ovalnya. Sementara Jave bergerak ke ambang pintu, berdiri dan melesakkan tangan pada saku celananya di sana. Hujan masih deras, serabut akar putih silih-berganti melukis langit. Bagi Jave, keadaan akan jauh lebih baik jika kilat petir itu menyambarnya saat itu juga.
Alifia meringkuk di sudut kursi, mendadak rona ketakutan membias dari wajah ovalnya. Sementara Jave bergerak ke ambang pintu, berdiri dan melesakkan tangan pada saku celananya di sana. Hujan masih deras, serabut akar putih silih-berganti melukis langit. Bagi Jave, keadaan akan jauh lebih baik jika kilat petir itu menyambarnya saat itu juga.
Setelahnya, waktu mengulum mereka dalam geming, dan malam begitu saja berakhir tanpa kesimpulan.
Beberapa bulan setelah malam itu, Jave mendapat kabar bahwa Alifia telah menikah dengan lelaki selingkuhannya, yang tak diketahui oleh Jave karena Alifia tak pernah menyebut namanya. Lagipula Jave tak sudi mengenalnya.
***
Mobilnya berhenti pada rerumputan liar yang bergunduk. Sisi-sisi rumput itu adalah ngarai yang di bawahnya mengalir sungai dalam. Pada salah satu sisi, Jave melihat wanita itu seakan tertegun. Angin mengibarkan baju biru tipis Alifia yang berdiri menghadap tebing curam.
Beberapa bulan setelah malam itu, Jave mendapat kabar bahwa Alifia telah menikah dengan lelaki selingkuhannya, yang tak diketahui oleh Jave karena Alifia tak pernah menyebut namanya. Lagipula Jave tak sudi mengenalnya.
***
Mobilnya berhenti pada rerumputan liar yang bergunduk. Sisi-sisi rumput itu adalah ngarai yang di bawahnya mengalir sungai dalam. Pada salah satu sisi, Jave melihat wanita itu seakan tertegun. Angin mengibarkan baju biru tipis Alifia yang berdiri menghadap tebing curam.
Jave melangkah mendekat. Sejujurnya, semenjak malam terakhir perjumpaan dengan wanita itu tiga tahun silam, sejak itu pula Jave tidak ingin berurusan lagi dengan Alifia. Betapa ia masih ingat malam-malam kelam yang dilaluinya sendiri sepeninggal wanita itu menikah. Ia hanya mengurung diri di kamar dan menghabiskan berbotol-botol Vodka, lalu meraung tak keruan. Sampai akhirnya Balqis datang, dan memberi warna serta senyum baru dalam hidup Jave. Dan ketika wujud kebahagiaan itu hampir saja ia rasakan, sekarang Alifia tiba-tiba hadir lagi dengan sebuah ancaman. Ancaman yang tidak pernah main-main. Itu alasan Jave ada di sini sekarang. Karena jika tidak, Alifia tidak akan pernah ragu untuk segera melompat dari pinggir tebing itu.
"Menjauhlah dari sana..." pinta Jave. Alifia sepintas menoleh, lalu kembali menghadap tebing.
"Sudah kuduga kau mau datang."
"Apa yang kamu inginkan, Alifia?"
Kali itu Alifia benar-benar membalikkan badan, membuat Jave nyaris tidak mengenalinya. Banyak perubahan pada diri wanita itu, tubuhnya sekarang lebih kurus, matanya terlihat cekung dan letih, serta bibir magenta yang kontras dengan warna baju birunya seolah memberi simbol pemberontakan.
"Batalkan pernikahanmu, dan aku akan segera mengurus perceraianku."
"Itu tidak mungkin, Alifia. Balqis mencintaiku, sebagaimana aku mencintainya. Sementara kamu juga sudah memiliki suami yang juga pasti begitu menyayangimu. Ini garis hidup kita, mari sama-sama belajar untuk menerimanya."
"Kaubilang kau mencintai... siapa tadi? Balqis?"
"Ya."
"Dan kau tidak mencintaiku?"
"Maaf, sejujurnya memang tidak lagi."
Alifia tersenyum getir, "bualan macam apa itu, Jave? Kau tidak mungkin berada di sini kalau tidak mencintaiku, lalu meninggalkan Balqis-mu itu."
Jave menelan ludah, "dengar, Alifia... kamu jelas salah paham. Ini tidak ada hubungannya dengan segala perasaan yang kumiliki. Kedatanganku adalah untuk memastikan bahwa kamu tidak melakukan tindakan konyol yang akan merugikan diri kamu sendiri, dan orang-orang di sekelilingmu. Tidakkah berpikir bagaimana dengan suamimu, anakmu?"
"Persetan dengan mereka."
"Alifia!" Jave nyaris kehilangan kesabaran. Wanita di depannya itu jelas sedang dibelenggu kebutaan. "Kamu sudah gila jika sampai tidak mempedulikan anakmu!"
Mendengar Jave membentaknya, sedikit pun Alifia tidak terlihat gentar, justru seringai di mulutnya kian lebar. "Aku memang sudah gila sejak pertama mengenalmu."
"Ya, kamu memang benar-benar gila, dan sekarang aku akan mengantarmu pulang!" Jave sungguh hilang kesabaran dan bergerak mendekati wanita itu. Dengan satu gerakan cepat ia menggamit paksa pergelangan tangan Alifia. Lalu sekuat tenaga menyeretnya. Beberapa kali Alifia berusaha berkelit, namun cengkeraman Jave terlalu kuat. Rerumputan tercerabut ketika kaki Alifia berusaha berontak, namun sekali lagi Jave tak berniat mengendurkan belitannya. Sampai di ujung keputus-asaan, Alifia menyelipkan sebelah tangannya yang bebas ke dalam saku celana, mengeluarkan sesuatu dari sana. Jave mundur tiga langkah dan mau tidak mau harus melepaskan tangannya. Alifia menodongkan pisau tepat ke arah mukanya.
"Jangan macam-macam, Jave."
"Al.. Alifia.. Apa-apaan ini?" Jave tergeragap, wajahnya berubah pucat pasi.
"Oh, tenang, Jave... jangan panik begitu," Alifia kembali memamerkan gigi-giginya. Gagang pisau terpegang erat di tangannya. "Sebenarnya sederhana saja, kau cukup membatalkan pernikahanmu dan semuanya akan aman terkendali."
"Jangan harap..."
"Kalau begitu, mari kita mati bersama-sama."
Pernyataan itu membuat tubuh Jave bergidik. Ia mulai menyesali kedatangannya ke tempat itu. Jika dirunut, sebenarnya ia tidak sedang berusaha menolong nyawa orang lain, melainkan sedang mengantarkan nyawanya sendiri ke tempat itu. Tidak! Jave tidak ingin terbunuh bersama wanita gila itu. Satu langkah Jave memundurkan langkah, dan Alifia hanya mengamatinya. Maka Jave memutuskan berlari sekuat tenaga memunggungi wanita itu. Lamat-lamat ia dapat mendengar seseorang berteriak di belakangnya.
"Kembali, Jave, atau aku akan melompat ke bawah sana!"
Terserah! Terserah! Jave tidak peduli lagi. Ia hanya berharap tidak terbunuh saat itu juga. Biar saja wanita gila itu mampus. Jave tidak peduli. Ia mengelap peluh yang membanjiri keningnya, sebelum menjejak gas, dan mobil meluncur dengan kecepatan maksimum.
***
Lelaki itu mengatur napas ketika mobilnya sudah terparkir di depan boutique. Sebelum keluar, ia melihat lampu handphone-nya berkedip-kedip, tanda adanya notifikasi. Sebuah SMS bertuliskan : 'Selamat tinggal, Jave.'
***
Lelaki itu mengatur napas ketika mobilnya sudah terparkir di depan boutique. Sebelum keluar, ia melihat lampu handphone-nya berkedip-kedip, tanda adanya notifikasi. Sebuah SMS bertuliskan : 'Selamat tinggal, Jave.'
Kemudian Jave menghembuskan napas. Alifia telah memilih mengakhiri hidup dengan caranya sendiri, dan Jave juga telah memilih untuk tetap hidup demi Balqisnya. Susah payah ia mencoba menerima kenyataan itu.
Jave mematikan handphone, dan berjalan ke dalam boutique. Seorang security membukakan pintu, dan Jave bergegas menuju meja resepsionis.
"Apa Balqis masih di dalam?"
"Seorang perempuan baru saja menjemputnya."
Jave menepuk dahi, ia pasti terlalu lama meninggalkan calon istrinya itu, hingga Balqis pasti sudah menelepon ibu untuk menjemputnya.
"Seorang perempuan tua?"
"Bukan, Tuan. Perempuan berlipstik magenta..."
====
Relly A. Vinata
Peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi.
Peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar