Bagian yang paling ingin kuhindari di akhir pekan adalah masuk ke kamar kumuh Jin. Rasanya seperti memasuki dunia lain yang berkebalikan dengan hidup normal, di kepalaku. Memungut tebaran baju di lantai, atau tersampir pada komputer usang yang meski usianya tua tetap dipaksa untuk terus beroperasi. Sesekali dari baliknya akan muncul kecoa yang menggerak-gerakkan sungutnya. Untunglah aku termasuk perempuan yang kebal ketika berhadapan dengan makhluk pipih itu. Pada asbak, tak cukup hanya puntung rokok, melainkan juga timbunan kulit kacang sampai meluber di meja. Belum lagi seprai yang selalu terlihat kusut. Ya, tuhan, Jin! Bisa-bisanya lelaki itu membekap diri pada ruangan yang lebih mirip kapal pecah ketimbang kamar itu.
Aku dan Jin berbeda jenis kelamin, tapi kami kembar. Ia lebih tua lima jam. Aku selalu mengira dapat terlahir lebih dulu dari rahim ibu. Namun karena sifat egois telah tertanam sejak lelaki itu masih berupa zigot, maka ia menahanku dan ia keluar lebih dulu. Jadilah dia abangku. Mungkin akan terdengar seperti lelucon, tapi perkiraan itu tentu beralasan, buktinya sekarang aku seperti mengasuh seorang adik. Mencuci segala pakaiannya, menyediakan makanan, dan jika malam hari Jin tidak dapat tidur lelap karena gigitan nyamuk, diam-diam aku mengoleskan lotion ke tubuhnya.
Ya, di rumah ini tidak ada ibu. Kami mengontrak sebuah rumah minimalis sejak memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota ini. Orangtua kami di kampung halaman yang hanya datang enam bulan sekali untuk memberi jatah uang semester dan biaya sewa rumah. Untuk biaya hidup, sebisa mungkin kami mencarinya sendiri. Aku bekerja paruh waktu sebagai bartender di Coffee shop, dan sesekali esai maupun cerpen Jin dimuat pada koran harian lokal. Hasilnya tidak seberapa, sekadar cukup untuk menutupi kebutuhan kami sehari-hari.
Terlahir sebagai kembar tidak menjamin aku dan Jin hidup dalam balutan tentram, bahkan lebih sering tidak akur. Salah satunya karena sifat kami yang sama sekali berbeda. Jin selalu tampak kacau, sementara aku menuntut keadaan rumah harus selalu tertata dan rapi. Tak ayal hal itu sering memunculkan percik perdebatan di antara kami berdua.
"Jin, sudah kusediakan keranjang di pojok dinding. Kau bisa menaruh pakaian kotor di sana," saranku suatu pagi.
Jin menggeliat di kasur, rambut keriting sebahunya nyaris menutupi seluruh wajahnya. Lalu menggumam dari balik bantal yang masih menghimpit kepalanya. "Aku tidak menyuruhmu mengambil baju-bajuku, Lien. Kalau tidak mau, biar aku cuci sendiri."
Setelahnya aku hanya menghela napas dalam-dalam, lalu kembali memunguti baju-baju itu. Tidak pernah mempan memberi nasihat pada seorang lelaki bernama Jin. Dia selalu menangkis dengan omong-kosong akan mencuci sendiri. Kenyataannya jika aku membiarkannya, ia akan tetap merelakan aroma baju-baju menguar hingga seluruh ruangan berbau apek.
Jin memang keras kepala. Tapi untuk satu kondisi, lelaki itu bisa menjadi sosok abang yang dapat diandalkan. Pelindung terbaik. Misal, ketika seorang lelaki mencoba mendekatiku dan aku tidak menyukainya, Jin akan menjadi proteksi ampuh yang membuatku memiliki jarak aman. Pernah satu malam di musim kemarau seorang lelaki yang kukenal sebagai senior di fakultas, bertandang ke rumah kami. Aku menyuruh Jin meladeninya.
"Kau siapa?" tanya Jin kala itu. Mereka sedang berdiri di selasar. Aku mengintip dari gorden jendela.
Lelaki itu menjabat tangan Jin. "Jerry, teman Lien. Boleh bertemu dengannya?"
"Kau yakin adikku mau menemuimu?" kepala Jin justru bergerak mengamati dengan seksama tiap jengkal paras lelaki itu. "Kumismu tebal, Bung. Lain kali dicukur dulu."
Aku cekikikan melihatnya, bagi siapa pun yang tidak mengenal Jin, pastilah mereka menganggap Jin sangat menyebalkan. Tanpa terkecuali lelaki bernama Jerry itu, yang hanya dapat meringis kehabisan akal.
"Tolonglah, sebentar saja..." pinta Jerry tak menyerah.
"Sejujurnya, aku lebih bersedia dimintai tolong mencarikan Tom untukmu."
Dasar Jin! Aku mulai sakit perut menahan tawa menyaksikan kelakuannya itu. Hingga tanpa sadar Jin sudah menyelinap ke dalam rumah, dan lelaki dengan tekad baja itu masih saja berdiri di sana. Lantas Jin membisikkan sesuatu yang nyaris membuat perutku meletus. "Jangan mau berciuman dengan lelaki itu, Lien. Bulu-bulu kumisnya bisa tertelan olehmu, jika itu terjadi."
***
Perihal jenius yang tersemat pada Jin, itu hanya penilaianku saja. Orang lain akan menganggapnya berandal yang tak mampu mengurus diri-sendiri. Termasuk ayah. Ayah jarang bicara dengan Jin, kalau pun hal langka terjadi yakni mereka terpaksa duduk berhadapan di meja makan, mata mereka memiliki objek tujuannya masing-masing. Bergeming tanpa saling pandang. Bagi ayah, sikap aneh Jin yang cenderung tertutup dan berbuat semau sendiri tidak sepatutnya dapat dibanggakan.
Aku sendiri sebenarnya tahu, mereka hanya sama-sama keras kepala.
Andai sekali saja Jin bersedia menyodorkan kartu hasil studi pada ayah, niscaya ayah akan memiliki anggapan yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Tapi itulah masalahnya, Jin tidak pernah mau memperlihatkan hasil belajarnya.
Pun ayah sama saja, tidak pernah berniat menanyakannya pada Jin. Karena ia lebih dekat denganku--dalam hal ini lebih menyayangiku--maka ayah lebih sering menanyakan keadaan Jin kepadaku.
"Bagaimana, itu, kuliah abangmu? Apa di kampus dia bikin malu nama ayah?"
Kalau saja dapat berkata jujur, pasti aku akan langsung mengatakan bahwa anak laki-lakinya justru membuatnya bangga. Atau seandainya ayah berlangganan koran, pastilah ia tahu sendiri bagaimana putranya digadang-gadang potensial menjadi penerus sastrawan melayu. Tentu saja aku tidak dapat mengatakan kebenaran akan hal itu, karena sehari sebelumnya Jin lebih dulu berhasil mengancamku.
"Akan kujitak kepalamu, kalau sampai berani memberi tahu nilaiku pada ayah."
Kadang aku tidak bisa menduga jalan pikiran Jin, tapi begitulah dia, yang tak akan mampu diterjemahkan oleh pikiran linier yang kumiliki. Terpaksa aku sedikit berbohong pada ayah. Kukatakan bahwa kuliah Jin baik-baik saja, dan nilainya tidak begitu mengecewakan. Kupendam rapat-rapat angka 3,88 yang menjadi indeks prestasi lelaki itu.
"Baguslah," kata ayah. "Kalau sampai nilainya tak keruan, lebih baik anak itu keluar saja. Ajarilah abangmu itu, supaya cerdas sepertimu."
Aku mengangguk mafhum. Miris mendengar kalimat ayah yang kerap menuntutku untuk mengajari Jin. Faktanya aku sendiri yang sering minta solusi pada abangku itu tatkala kepayahan mengerjakan soal yang ditugaskan dosen.
Seingatku, hanya satu kali aku menenangkan Jin ketika ia sedang terguncang, jika itu dapat dikatakan sebagai memberi solusi. Malam itu aku baru saja pulang kerja dari sift malam. Mendorong pintu, menghidupkan lampu kamar, lalu melihat jam dinding yang menunjukkan waktu dini hari. Saat tas berisi perbekalan kutaruh di atas meja dan bersiap merebahkan tubuh, tiba-tiba saja terdengar suara memekik dari arah kamar Jin.
"Keparat!!"
Aku tercekat, seolah hilang penat dan lelah menjalar, aku berlari tergopoh-gopoh. Beberapa kali hampir terjungkal oleh sandungan kaki sendiri. Tanpa pikir panjang, kudobrak pintu kamar Jin.
"Ada apa Jin?" tak bisa tertutupi gurat kekhawatiran di wajahku. Bagaimanapun aku tidak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu. Lalu hening mengulum tiap sudut udara ruangan. Di keremangan, mendadak aku bingung karena Jin hanya berdiri menatap keluar jendela.
"Jin, kau baik-baik saja, kan?" ulangku cemas.
"Lihatlah, bagaimana bajingan ini menulis dengan sebegitu kurang ajarnya!" Jin menunjuk sebuah buku di atas meja, tepat pada area lengang di samping komputer usang. Cahaya lampu belajar menyorot area itu. Di sampulnya bertuliskan Cien Anos de Soledad, karangan Gabriel Garcia Marquez.
Dapat kusimpulkan bahwa Jin baru saja membacanya. Penulis kelahiran Kolombia beserta sajian realisme magis dari buku itu pastilah yang telah membuat Jin mengumpat. Kebiasaan Jin ketika membaca tulisan yang, baginya, teramat memikat, maka ia akan mengumpat. Bahkan Ernest Hemingway, Franz Kafka, Dan Brown, John Grisham, sampai J.K Rowling tak luput dari umpatannya.
"Dia pikir aku tidak bisa menulis sebagus itu apa?!!" lanjutnya seolah sedang berbicara dengan lembaran-lembaran kertas tak bernyawa.
Perlahan aku mendekat dan memeluknya dari belakang. "Tenanglah, aku percaya suatu saat nanti kau mampu menulis sebaik mereka."
Jin sering kali merasa kerdil ketika membaca karya-karya penulis ternama. Tak jarang ia menganggap dirinya begitu bodoh. Dan umpatan itu, aku tahu siapa Jin, itu adalah caranya untuk memantik semangat saat ia dihadapkan pada kemungkinan hadirnya putus asa.
***
Senin di pertengahan desember menjadi siang paling panjang seumur hidupku. Di hari itu ayah datang secara tiba-tiba, mukanya bagai sulut api yang siap membakar rumah kami. Diteriakinya nama Jin beberapa kali. setelah dengan wajah kusut Jin menghadap. Satu tamparan telak mendarat di rahangnya. Jin terhuyung dan ambruk pada sofa ruang tamu. Kemudian yang terdengar hanyalah makian dari mulut ayah, Jin membisu. Aku meringkuk di kamar tanpa berani melerai.
"Asal kau tahu, selama ini ayah masih percaya padamu. Tapi ini apa?!!" suara kertas terdengar koyak-moyak, lantas berhamburan di muka Jin. "Bikin malu! Bikin malu!"
Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan ayah murka sehingga rentetan makiannya tanpa putus sepanjang siang itu. Tak sekali pun aku mendengar Jin mengeluarkan suara, apalagi berusaha membela diri. Hingga perseteruan itu diakhiri dengan sebuah dentaman keras pintu dibanting dan ayah meninggalkan rumah kami. Saat itulah aku baru berani keluar. Lebam merah melukis di pipi kanan Jin. Potongan kertas berserakan di lantai. Aku duduk di samping lelaki yang masih terpaku itu.
"Hal gila apa yang sudah kau lakukan?"
Jin tidak menjawab dan justru mengamati kertas-kertas di lantai. Bak puzzle, aku memunguti potongan demi potongan, lalu merangkainya. Alangkah tercengang ketika aku membaca tulisan yang tertera dari saling-sambung kertas itu. Menyatakan bahwa... Jin di drop out!
"Tidak, ini tidak masuk akal," aku menggeleng tak percaya. "Bagaimana bisa kau dikeluarkan dari kampus?"
"Aku sudah menduga ini akan terjadi."
"Apa maksudmu?"
"Aku yang memanipulasi surat pernyataan itu."
"Apa?!" aku menelan ludah.
"Ya, sebenarnya aku tidak di D-O. Aku sendiri yang mengajukan pengunduran diri. Tapi alasan keluar dari kampus tidak akan begitu saja dapat diterima nalar ayah, maka aku terpaksa membuat surat pernyataan itu. Agar seolah-olah aku dikeluarkan."
"Kau?" aku semakin tak habis pikir. Ini tahun ke tiga kami kuliah, dan Jin mengajukan pengunduran diri. "Jadi itu kenapa kau tidak pernah memberikan hasil ujian pada ayah. Kau benar-benar sudah membohongi ayah, kau membuatnya marah, bahkan kau juga membohongiku, Jin!"
"Kemarahan ayah akan segera mereda."
"Setidaknya kau dapat menyenangkan ayah dengan bertahan sebentar lagi hingga kita lulus."
"Setelah itu apa?" Jin menatapku lekat. "Aku juga harus menjadi wakil rakyat dengan sarjana ilmu pemerintahan yang kusandang, seperti kemauan ayah. Sementara, kau tahu, aku tidak pernah menginginkannya. Dengar, Lien, aku akan membahagiakan ayah dengan caraku sendiri."
"Tapi..."
"Kau tahu Bill Gates, atau Mark Zuckerberg?" potong Jin seraya menyandarkan punggungnya ke sofa. Rona wajahnya seperti orang yang tidak mendapat tamparan beberapa menit lalu. Tentu saja aku mengenal dua nama yang disebutkan Jin. Siapa yang tidak kenal dengan sosok tersohor pendiri Microsoft dan Facebook itu. Dari beberapa literatur juga aku sempat membaca riwayat mereka.
"Lantas kau ingin mengikuti jejak mereka? Sedangkan, kau sendiri tahu, mereka adalah pengecualian yang berada pada skala satu berbanding milyaran penduduk bumi."
"Aku tidak sedang bicara tentang pengecualian, Lien. Tapi bagaimana seharusnya seseorang memiliki cara pandang terhadap ilmu. Kuliah, kau tahu, adalah proses untuk menyadari stimulasi-stimulasi. Ia sendiri bukanlah ilmu. Ia jalan yang, jika kau sadari, akan menuntunmu pada ilmu-ilmu di sekitar kita. Saat kau telah masuk pada taraf kesadaran tentang arti pentingnya ilmu, kau dapat menemukannya di manapun."
Aku tercenung, mencoba mencerna kalimat rumit yang diucapkan Jin. Lalu menyerah. Karena sampai kapan pun, aku tidak pernah mengerti arah pikiran Jin. Jalan di otaknya, jika digambarkan, akan membentuk grafik tak beraturan. Aku, sebagaimana orang kebanyakan, memiliki pikiran linier yang berharap jalan kehidupan yang runut seperti lahir, sekolah, mendapat pekerjaan mapan, menikah, punya anak, menua, dan mati. Benang merah ritual hidup.
Tapi Jin berbeda, ia telah memilih jalannya sendiri. Bahkan, katanya, jika kelak ia mati, ia akan tetap hidup.
***
Pintu kamar Jin berderit ketika dengan gerakan hati-hati tanganku membukanya. Kamar itu gelap walau di luar raja siang masih menyisakan sebagian paruhnya. Hanya siluet wajah Jin diterpa layar monitor. Lamat-lamat suara tangan Jin terdengar mengetik. Kemudian kepalanya menoleh, mendapati aku yang masuk tanpa mengetuk pintu.
"Boleh lampunya menyala? Di sini gelap sekali."
Jin tersenyum sebelum menganggukkan kepala.
Ketika lampu menyala, harus kuakui, Jin mulai berubah sejak keputusan mengundurkan diri itu. Kamarnya sedikit tertata, rambut keriting panjangnya dipotong cepak rapi, dan kini lebih sering tersenyum. Agaknya seperti baru saja keluar dari belenggu kerangkeng yang menyiksanya.
"Beranjaklah, aku sudah menyiapkan makan malam." kataku, setelah duduk di kasurnya. "Kau sudah bercumbu seharian dengan komputer usang itu."
Jin terkekeh tanpa tersinggung. "Aku sedang berkarya untuk keabadian, Lien."
Ya, itulah jalan yang ia pilih. Itu pula yang ia maksud saat ia mati, ia akan tetap hidup. Kebaikan sebuah karya akan tetap dikenang meski ruh penciptanya telah beralih dunia. Jin telah menemukan gairah hidupnya.
"Astaga!" Jin menepuk dahi. "Aku lupa mengatakannya..."
Aku bingung, "mengatakan apa?"
"Aku berniat mentraktirmu malam ini."
"Jangan bercanda..."
Aku beranjak dari kasur dan berjalan. Sepanjang jalan menuju dapur aku bertanya-tanya, sejak kapan pula Jin punya gagasan aneh seperti itu?
Tapi toh dia serius, malam itu kami melewati gerimis, dan memasuki sebuah kafe yang berdinding mayoritas kaca. Dari dalam kami dapat melihat hiruk-pikuk keadaan di luar. Lalu lintas kendaraan, genangan air di selokan, dan beberapa orang berteduh di teritis toko yang telah tutup.
"Siapa tahu di sini aku dapat menemukan inspirasi." cetus Jin seraya melahap salad di piring, terdengar olehku sebagai pembuka percakapan yang jelas omong-kosong. Selama ini Jin selalu memilih pergi sendirian, kalau dia sedang sungguh butuh inspirasi. Aku masih merasa aneh dengan sikapnya. Sampai Salad di piring Jin tandas, dan lelaki itu merapatkan tubuhnya, memandangku serius.
"Heh, Lien, kau masih ingat koran yang kuberikan padamu tempo hari?"
Aku mengangguk satu kali. Tiga hari lalu Jin menyodorkan koran dan menyuruhku membacanya. Di sana terdapat rubrik yang berisi resensi mengenai cerpen Jin. Aku tidak ingat seutuhnya, namun pada dasarnya resensi itu menilai Jin sebagai penulis yang memiliki teknik mumpuni, namun miskin rasa. Cerpen itu brrgenre romance. Jin sama sekali tidak tersinggung, justru ia girang bukan main karena ada orang yang memperhatikan karyanya.
"Menurutmu," tanya Jin. "mengapa resensor itu menilai bahwa cerpenku miskin rasa?"
"Mungkin karena kau memang belum pernah merasakan apa yang kau tulis. Ya, barangkali karena kau belum pernah jatuh cinta." jawabku sekenanya, tapi cukup untuk membuat senyum mengembang di sudut bibir Jin.
"Itu brilian, Lien!"
Aku sempat merasa terpuji, namun tidak lama, karena aku segera menyadari bahwa Jin sedang mengujiku.
"Sekarang coba lihat arah jarum jam tiga..."
Aku mengikuti perintahnya. Tepat pada arah jam tiga, aku melihat satu meja yang dihuni seorang perempuan yang kukenal sebagai senior tercantik di jurusanku. Dan aku mulai mengerti arah dari segala siasat ini. Jin sedang jatuh cinta.
"Jadi kau mengajakku ke sini hanya untuk..."
"Bagaimana menurutmu? Cantik tidak?" potong Jin dengan senyum yang kian merona.
Lelaki itu tidak butuh penilaianku, buktinya ia berdiri dari kursinya sebelum aku menjawab. Dengan gerak langkah yang dibuat-buat Jin berjalan menuju meja itu.
Saat itu, entah bagaimana, aku ingin sekali menghentikan langkah Jin. Rasa aneh seakan menyerbu bagai lentingan ratusan panah. Dengan cara apa pun aku ingin menyendat Jin saat itu juga. Aku tidak rela melihatnya mendekati perempuan itu. Aku... cemburu...
Relly A. Vinata
Peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar