Angsana itu tinggi menjulang, mengepakkan tiap jengkal daun bagai sungkup yang memberi suasana teduh di bawahnya. Saya takjub, di tengah tubuh kota Pekanbaru yang perlahan mulai diterpa modernisasi ini, pohon rindang itu masih kokoh memamerkan eksistensi. Tak jarang pengendara motor berhenti sejenak di kakinya, mengadu lelah. Atau para pejalan kaki yang bersandar di sela-sela akarnya yang mencuat ke atas tanah.
Tapi bukan Angsana yang menarik minat saya berada di tempat ini, melainkan sebuah bangunan minimalis yang bernaung di bawahnya. Ya, di bawah pohon itu berdiri pula sebuah bangunan yang pada balihonya bertuliskan 'Kopi Bahagia'. Konon, melalui cerita yang saya dengar, seperti namanya, warung kopi itu akan merangsang penikmatnya merasakan hadir aura kebahagiaan.
"Omong-kosong macam apa itu!" rutuk saya, ketika mendengar kabar dari rekan sekantor tiga hari lalu. Dan ia yang memang paham betul bahwa saya tidak mungkin percaya pada ihwal diluar nalar, hanya mendecak pasrah.
"Bung, coba sajalah sendiri."
Rasa penasaran yang menuntun saya berada di sini. Bukan pertanda bahwa saya mulai mempercayai bualan rekan kerja saya itu, justru ini akan menjadi sebuah pembuktian kalau ketidakpercayaan saya cukup beralasan. Maka saya melewati dua sisi kayu jati yang menjadi pintu warung kopi itu, memilih satu kursi kosong, dan duduk di sana. Tidak ada menu yang dapat dipilih. Karena memang kopi-lah yang tersedia di tempat itu. Hanya beberapa pelayan yang matanya awas mengamati datangnya pengunjung. Lalu menyuguhkan air hitam kental yang masih mengepulkan asap ke atas meja.
Perkiraan saya, tempat itu tidak pernah sepi pengunjung. Buktinya tiap sudut dipenuhi gelak-gelak tawa. Tidak hanya didominasi kaum tua, ada juga kerumunan mahasiswa-mahasiswi, pun keluarga yang membawa serta anak-anaknya. Semuanya tampak bahagia.
"Dipecat atasan?" Celetuk seseorang, ketika saya nyaris menggamit cangkir kopi. Saya menoleh, dan baru menyadari seorang perempuan aneh duduk tepat di samping saya. Rambut sebahunya dikuncir, berpakaian kemeja yang masih dilapisi lagi dengan jaket levis, celana panjangnya yang sewarna tanah memiliki setidaknya empat saku, dan kamera DSLR menggantung di leher kecilnya.
Tas dan sepatu pantofel yang saya kenakan pastilah yang membuat perempuan itu tahu bahwa saya seorang karyawan swasta.
Perempuan itu mengangkat kameranya, dan seutas cahaya lensa menyilaukan mata. Ia baru saja membidik gambar wajah saya, sebuah hal yang membuat perempuan itu tampak lebih menjengkelkan.
"Memangnya harus dipecat atasan agar saya dapat duduk di sini?" Ucap saya ketus. "Lagipula saya hanya ingin membuktikan sesuatu."
"Membuktikan bahwa kopi itu dapat menularkan bahagia. Kau harus percaya, karena..."
"Maaf, Nona," potong saya, "Ini bukan waktu yang tepat untuk membual."
Perempuan itu mengangkat bahunya, "aku juga sedang tidak ingin membual. Kopi itu ada di depanmu dan sekarang terserahmu."
Sejenak saya melupakan keberadaan perempuan aneh itu. Dengan perasaan campur aduk, jemari saya mengalung pada gagang cangkir, mengangkatnya, dan... Glek! Tak ada bedanya rasa kopi itu dengan kopi-kopi kebanyakan. Aromanya juga tidak begitu istimewa. Tapi ketika melewati tenggorokan, cairan itu seakan bergerak menjalar melalui arteri dan menyebarkan benih-benih menyenangkan pada larik motorik. Sekujur tubuh saya sempat bergidik, lantas mata saya mengerjap seolah tak percaya. Sensasi macam apa ini! Pikir saya. Mendadak segalanya menjadi tampak lebih ringan. Saya menelan ludah, perasaan saya seumpama serdadu kalah perang. Untuk kedua kali saya menyeruput, kemudian tak kuasa lagi menahan bibir berdecak kagum. Bagaimana mungkin?
Saya menoleh dan mendapati perempuan tadi terkekeh puas. Ia pasti sedang menertawakan ekspresi wajah kikuk saya saat itu.
"Efeknya mungkin tidak seberapa jika permasalahan yang kau pikul tidak begitu rumit," katanya.
Saya hanya menggaruk kepala seraya tersenyum canggung.
Setelahnya kami terlibat dalam percakapan hangat, seperti kerabat jauh yang lama tak bertemu, ditemani dua cangkir kopi di tangan kami, tentu saja. Saya menjadi tahu namanya Aifi, wartawati koran nasional yang tengah melancong ke kota ini. Tuntutan pekerjaan membuatnya harus terpisah dengan orangtuanya di Pariaman, Sumatera Barat.
"Jadi anda sering datang ke tempat ini?"
"Tidak hanya sering, bahkan jika otakku sedang macet, aku bisa dua kali menghabiskan segelas kopi di tempat ini." Jawab Aifi sembari tergelak.
Menurutnya warung kopi ini sangat membantu saat kepalanya pusing dikejar-kejar deadline. Tapi, katanya lagi, khusus hari ini ia datang untuk menenangkan permasalahan lain.
"Tunanganku menikah dengan wanita lain. Dia punya alasan brilian untuk itu. Cukup dengan mengambing-hitamkan pekerjaanku yang kerap berpindah-pindah tempat, sebagai penyebab sulitnya kami bertemu, sehingga ia lebih memilih wanita lain. Benar-benar konyol sekali, kan?" Tutur Aifi masih menyemburkan tawa. Agaknya mungkin kopi itu sudah bekerja dengan baik di otaknya. Sampai-sampai kejadian pedih pun diucapkan dengan sukacita.
"Sudah berapa lama kalian berhubungan?"
"Nah, itu dia, sebenarnya hubungan kami sudah berjalan tiga tahun. Dan selama itu ia tidak pernah mempermasalahkan mengenai pekerjaan. Hingga dua bulan belakangan kami lebih sering membahas kesetiaan. Kau tahu, disaat sepasang kekasih lebih sering menuntut kesetiaan, saat itulah hubungan mereka sedang tidak beres."
Saya mengangguk mafhum. "Bagaimana dengan perempuan yang dinikahinya, anda mengenalnya?"
"Tunggu sebentar," Aifi menatap heran seolah saya fosil meganthropus erectus. "Kita mesti alih profesi. Sepertinya kau yang lebih berbakat jadi wartawan."
Kami tergelak bersama. Seingat saya, sebentar kami bercerita selalu diiringi tawa. Seolah tanpa beban untuk mengatakan hal paling pahit sekalipun. Dan layaknya kepahitan perasaan itu telah meresap dan menyatu ke dalam pahitnya rasa kopi. Saya sempat curiga jangan-jangan ada semacam zat adiktif yang dicampur ke dalam kopi itu. Tapi kata Aifi, persepsi saya itu ngawur, karena kopi itu telah diuji klinis dan tidak terkandung bahan berbahaya. Selain hanya ada kafein yang takarannya setara dengan kopi-kopi pada umumnya.
Hingga tanpa terasa lembayung petang telah menyongsong, dan kami berpisah di pintu depan warung Kopi Bahagia.
"Lain kali, jika bertemu lagi, giliranmu bercerita tentang siapa dirimu," titah Aifi sembari melambaikan tangan. Dan saya membalasnya dengan mengangguk satu kali.
***
Satu minggu sejak pertama kali menginjakkan kaki di warung kopi ajaib itu, saya belum sempat kesana lagi. Ya, saya menyebutnya dengan warung kopi ajaib, karena memang begitulah adanya. Banyak laporan keuangan yang harus saya presentasikan. Juga harus menyelesaikan berlembar-lembar bahan yang akan menjadi arsip kantor. Singkatnya, saya dilanda kesibukan yang teramat melelahkan.
Baru satu minggu setelahnya saya bisa mengunjungi tempat itu lagi. Saya duduk tepat di kursi pertama kali datang tempo hari. Dan menyesap kental kopi yang seakan melunturkan lelah yang saya rasakan. Bedanya, tidak ada teman berbincang. Tentu saja ruangan itu penuh pepat, tapi semua memiliki lawan bicara masing-masing. Saya tidak melihat perempuan itu lagi. Padahal saat itu ia mengatakan hampir setiap hari ia datang ke tempat itu. Kemana Aifi?
Begitu juga beberapa hari setelahnya, setiap hari saya sengaja datang ke tempat itu dengan tujuan berbeda. Tapi Aifi tetap tidak ada. Dan, entah bagaimana, itu membuat saya gelisah.
Akhirnya saya menanyakan mengenai keberadaan perempuan itu pada salah seorang pelayan laki-laki yang berkumis lebat.
"Nona yang sering mem-foto pengunjung-pengunjung di sini?" Tanyanya memastikan, saya mengangguk antusias. "Katanya, dia sudah dipecat dan kembali ke kampung halaman."
***
Saya mengambil cuti beberapa hari dan sekarang sedang berada di sebuah bus antar lintas Sumatera. Perjalanan menuju Sumatera Barat. Saya tahu ini terdengar konyol, tapi bayangan Aifi terus berkelebat dalam benak saya. Ia baru saja ditinggal tunangannya menikah, juga dipecat dari profesinya. Firasat saya tidak enak, dan sesuatu mungkin terjadi pada perempuan itu. Maka saya harus menemuinya.
Bus yang saya tumpangi menempuh waktu duabelas jam sampai ke tempat itu. Melewati rumitnya kelok sembilan, hingga akhirnya dapat memijakkan kaki di ranah minang.
Udara dingin menyergap saat saya turun dari bus. Dan mulai menanyakan satu-persatu orang yang saya temui. Mereka akan dengan cepat menggeleng. Upaya gila untuk menemukan satu orang bernama Aifi di antara ribuan warga Pariaman.
Ketika saya mulai merasa kesia-siaan tindakan itu, saya duduk memeluk lutut di pasir pantai Pariaman. Hanya satu-dua pengunjung di pantai itu, karena hari masih pagi. Lalu mata saya tersentak saat sebuah siluet pada sosok yang berdiri di batu karang mengibarkan syal pada lehernya. Perlahan saya mendekat dan melihat rupa sosok itu kian jelas.
"Aifi?" Bisik saya ketika jarak kami hanya sepelemparan batu. Sosok itu membalikkan badan dan, demi tuhan, saya lupa bernapas saat itu. Ia benar-benar Aifi. Bahkan ia tersenyum kecil. "Kenapa kau tidak bilang telah dipecat?"
Aifi masih tersenyum. "Jadi, aku harus bertanya bagaimana caraku untuk memberitahumu? Atau aku harus bertanya mengenai cara menyapamu yang berubah 'kau', bukan 'anda' seperti pertama kita bertemu?"
Saya tidak tersenyum sipu oleh lelucon yang dibuat Aifi. Teramat cemas untuk melakukannya. Pun baru menyadari pengucapan asing pada cara saya menyapanya. Tapi, melihat keadaan perempuan itu yang tampak baik-baik saja, membuat saya dapat bernapas lega. "Apa yang kaulakukan sekarang?"
"Mengajar sekolah dasar. Kau tahu? aku satu-satunya guru yang sering dirayu anak-anak kecil."
Kali itu saya tersenyum. "Tidakkah rindu pada Kopi Bahagia, dan tidakkah ingin mendengar cerita siapa diriku?"
"Ya, sebenarnya rindu dan ingin. Tapi di Pariaman ini ada minuman yang tak kalah ajaib ketimbang kopi di kotamu."
"Benarkah?"
"Ya, namanya Teh Jodoh."
"Bagaimana cara kerjanya?"
"Cukup sederhana, kau hanya tinggal meminumnya. Maka sejauh apa pun jodoh yang ditakdirkan untukmu, ia akan datang menemuimu."
Saya tersenyum dan tak kuasa lagi menahan mata yang perlahan berkaca-kaca. Menatap mata Aifi yang selalu berbinar. Menatap wajahnya yang selalu memaparkan ceria. Menatap takdir saya sendiri...
- - -
Relly A. Vinata
Peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi.
Peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi.
(cerpen yang saya buat secara iseng-iseng ini menjadi kontributor dari event yang diadakan oleh salah satu penerbitan indie. Dari 208 naskah, dipilih 31 naskah yang dibukukan menjadi dua buku antologi kumpulan cerpen. Kopi Bahagia & Teh Jodoh menjadi salah satunya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar