Kategori

Catatan (3) cerpen (12) puisi (1)

Senin, 16 Maret 2015

Kuaci Datuk

"Terkadang, aku berpikir bahwa kenangan manis tetap jauh lebih mengerikan daripada kenangan paling pahit. Seberapa pahit kenanganmu di masa lalu, itu hanya menimbulkan sesal dan membuatmu enggan menoleh ke belakang lagi. Tapi kenangan manis... ia akan terus merongrong dan berupaya menyeretmu kembali ke masa lalu, melawan keniscayaan, meski kau tahu itu tidak mungkin. Begitulah ingatan tentang Datuk bak siksa yang berkamuflase dalam bentuk kenangan manis, membelengguku, hingga saat ini."

Ketimbang Ayah atau Mak, masa kecilku lebih berkesan bersama Datuk. Dulu Datuk yang sering memanggul tubuh kecilku di pundaknya, menyusuri tepian sungai Batang Kuantan yang jernih meski gerak jalannya rindik dan tertatih-tatih. Lalu kami duduk berdampingan di atas gundukan tanah, kemudian Datuk akan mengeluarkan sebuah bungkusan dari sakunya.

"Kuaciiii!!" Pekik serak Datuk seraya menggantungkan bungkusan itu di udara. Aku akan bertepuk tangan kegirangan setelahnya. Walau sebenarnya aku tahu bahwa Datuk akan selalu membawa biji bunga matahari itu untukku, dan itu berlarut bagai tradisi bagi kami berdua, tapi aku selalu menganggapnya sebagai kejutan yang menyenangkan.

Datuk akan membuka satu-persatu kulit kuaci, dan menyerahkannya padaku. Bukan karena aku tidak bisa membukanya sendiri, bahkan aku piawai dengan menggigit bagian ujungnya dan sisi-sisi kulit akan merekah dengan sempurna. Tapi setelah menikmati bijinya, aku menyebar kulit itu ke badan Kuantan. Dengan satu gerakan cepat Datuk akan memukul tanganku. Menurutnya, mencemari alam adalah perbuatan kurang ajar. Aku tidak kapok, karena selalu ada sensasi tersendiri saat sungai itu menghanyutkan kulit-kulit kuaci, sehingga menyerupai puluhan jalur yang sedang berpacu. Kejadian itu terulang berkali-kali sampai justru Datuk yang menyerah melihat tingkahku. Maka semenjak itu aku tidak pernah diizinkan lagi untuk menyentuh biji mungil berwarna hitam-putih itu. Tugasku hanya makan dari kupasan tangan Datuk. 

Di tempat itu kami akan membicarakan banyak hal. Bukan jenis pembicaraan yang serius, tentu saja, melainkan mengenai ihwal remeh-temeh kehidupanku. Jika saat itu Datuk melihat teman-teman kelas satu sekolah dasarku sedang berenang di badan sungai, maka ia akan menanyakan apakah aku juga bisa berenang. Atau jika sedang musim layang-layang, salah seorang temanku yang bernama Norman-anak Pak cik Nadim-sedang menarik-narik benang nilon yang menggerakkan layangan besar melanglang buana di atas langit, Datuk akan bertanya padaku. 

"Apa kau juga mau Datuk buatkan layang-layang?"

Obrolan semacam itulah, kami akan selalu membicarakan hal-hal menarik yang ada di sekeliling kami. Pernah suatu kali, Datuk benar-benar membuatkan layang-layang untukku, meski aku berkata tidak menginginkannya. Mungkin ia mau membuktikan keahlian yang dimilikinya kepadaku. Benar saja, layang-layang itu besar bukan main. Jika aku berniat melihat kota Teluk Kuantan dari gugusan bentang awan, layang-layang itu mampu membawaku serta. Tapi kenyataannya layang-layang itu tidak mampu terbang, sayap kanan dan kirinya tidak presisi, Datuk salah saat mengukur kerangkanya. Demi melihatnya, aku tak kuasa menahan sakit perut karena terpingkal-pingkal, dan Datuk hanya bisa menggaruk kepala sembari memamerkan gigi-gigi keroposnya.

Begitulah Datuk, walau rambutnya menyisakan warna hitam yang langka, serta guratan kumisnya serupa Adolf Hitler, seseorang bisa saja menganggapnya jenaka karena lakunya yang kerap menularkan tawa. Tapi bagiku, ia lebih dari sekadar itu.

***

Sejujurnya, aku tidak benar-benar menyukai kuaci. Maksudku, jika Datuk membawakan seplastik kacang rebus dan sebungkus kuaci, tentu akan dengan senang hati aku memilih kacang rebus. Sebab kuaci terlalu kecil, dan bukan jenis makanan yang mengenyangkan. Sedangkan tubuhku yang kurus kering ini jelas lebih membutuhkan asupan nutrisi yang lebih dari sekadar kuaci. Suatu ketika aku pernah menanyakan itu padanya. 

"Kenapa selalu kuaci, sih, Tuk?"

Datuk justru berbalik tanya disertai wajah linglungnya."Iya, kenapa kuaci ya?"

Kelak, aku akan mengerti mengapa Datuk selalu memilih kuaci. Bahwa pada waktu itu kuaci adalah jajanan yang paling murah, dengan bungkusnya bukan terbuat dari plastik, melainkan hanya kertas coklat. Perkiraanku kertas daur ulang. Kemudian kuaci juga jenis camilan yang menuntut penikmatnya untuk sedikit lebih bertindak sabar, karena proses membukanya tidak sesederhana camilan lain, maka akan butuh waktu yang tidak sebentar saat menghabiskannya. Lamanya memakan kuaci itulah yang membuat kami, aku dan Datuk, dapat lebih lama bercengkerama.

Apalagi jika musim pacu jalur tiba. Akan lebih banyak kuaci yang masuk ke dalam perutku. Tak jarang kami harus membawa bungkusan yang masih tersisa ke rumah, saking banyaknya. Datuk akan membeli belasan atau mungkin puluhan bungkus untuk menemani kami menyaksikan jalur-jalur yang tengah berpacu. Dari pagi hingga menyongsong lembayung petang.

Ya, kami memiliki tradisi lokal yang amat kami banggakan. Pacu jalur adalah bentuk event yang setiap tahun berlangsung di daerah kami. Dahulu kala, pada mulanya kegiatan itu dilakukan untuk menyambut bulan suci ramadhan. Mungkin lebih mirip perahu naga, tapi tentu saja jalur kami memiliki keunikannya sendiri. Seperti terdapatnya anak pacuan yang merupakan seorang anak lelaki kecil menari-nari pada ujung depan jalur, serta penamaan yang disematkan pada tiap jalur begitu bermacam-macam. Tapak Godang, Kalojengking Tigo Jumbalang, Tuah Inaian Mandulang Untuang, Siposan Rimbo, Jubah Merah, dan masih banyak lagi. Tak kurang dari dua ratus jalur berpacu di batang Kuantan pada tiap tahunnya. Itu sebabnya tiga hari adalah waktu paling cepat sampai berakhirnya festival pacu jalur. Bahkan beberapa tahun belakangan, ada juga jalur dari negeri serumpun, Malaysia, yang turut menyemarakkan tradisi ini.

"Itu jalur kita! Itu jalur kita!" teriak Datuk yang diiringi gemuruh penonton di sekeliling kami. Sejenak Datuk berdiri dan menunda tangannya membuka kuaci, aku mengikutinya. Tersebab tubuhku yang mungil, dan meski kami sudah memilih berdiri pada gundukan tanah paling tinggi, toh aku tetap tidak dapat melihat hiruk-pikuk sungai. Sekali lagi Datuk memanggul, aku duduk di antara kedua pundaknya. Dua jalur berpacu dengan cepat, dayung digerakkan dalam ritme anggun serta serempak, menimbulkan kecipak-kecipak air yang menempias pada sisinya, dan aku melihat jalur kebanggaan kami di sana, Siluman Buayo Danau.

Tentang pemilihan jalur itu, bukan pula dengan anggapan sembarangan. Karena sesungguhnya tiap jalur adalah utusan kebanggaan dari masing-masing kecamatan. Maka kami akan mendukung jalur yang berasal dari wilayah masing-masing.

Ketika Siluman Buayo Danau berada sedikit di depan, dan si anak pacuan menari seperti orang kesetanan, kami ikut bersorak seolah ikut mendorong kayu terapung itu untuk terus melaju.

"Aku ingin jadi anak pacuan," cetusku suatu kali.

"Kau bisa berenang?" itu jawaban sekaligus pertanyaan yang selalu dilontarkan Datuk saat mendengar obsesi tidak masuk akalku. Dan setelahnya aku memilih bungkam.

Mengetahui jalur kami memasuki pancang pemisah yang terakhir, lebih dahulu menyentuh garis finish, Datuk akan segera menurunkanku dan memelukku erat. Hal lumrah yang akan dilakukan seorang kakek mana pun pada cucu kesayangan untuk menumpahkan rasa bahagianya. Tapi aku selalu merasa ada yang berbeda dari pelukan Datuk. Ah, bagaimanalah cara menjelaskannya, yang pasti saat itu ada sepercik kehangatan yang menyeruak di sekujur tubuhku. Hingga aku merasa terlindungi, hingga aku merasa tidak takut pada apa pun. 

***

Saat kelas tiga sekolah dasar, usiaku genap delapan tahun, Ayah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Mak menyusul pada tahun berikutnya. Ayah mengidap kardiovaskular, dan Mak diserang penyakit diabetes melitus. Aku sangat sedih, namun tidak menangis. Saat memelukku, Datuk bilang, suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi lelaki yang kuat.

Entahlah, mungkin aku berpikir masih ada Datuk yang akan mengurusku, sehingga tak satu tetes air mata pun tumpah tatkala aku berdiri diam memandangi jenazah orangtuaku. 

Satu tahun kulalui hidup bersama Datuk, merasakan masakannya yang tidak enak, mendengar dongengnya pada malam sunyi sebelum terlelap. Dongeng Mahligai Keloyang, Pangeran Sutha dan Raja Bayang, atau dongeng Si Tamak. Selalu menyenangkan mendengar cara Datuk berkisah, meski tak jarang ia lupa di tengah-tengah, lantas aku tidak dapat memahami alur ceritanya secara utuh. 

"Kelanjutannya bagaimana, Tuk?" terorku tiap kali merasa sedang khidmat menyimak, tiba-tiba Datuk berhenti. Dan ia akan menepuk keras dahinya.

Kukatakan hanya setahun kebersamaanku bersama Datuk, karena setelah itu Datuk juga meninggalkanku. Lelaki tua itu dimakan usia dengan tak mampu lagi menahan komplikasi di tubuhnya. Itulah saat di mana pertahananku runtuh seumpama tabuhan genderang yang memecahkan kaca hingga berkeping-keping. Laksana ribuan panah menancap di dada dan membuatku jatuh sempoyongan. Tiga tahun beruntun, seluruh keluarga meninggalkanku. 

Menjelang tidur panjangnya, Datuk menggenggam erat tanganku. Lama matanya menatapku lekat, seperti tak rela membiarkanku hidup sendiri. Lalu bulir bening mencucur dari pelupuknya yang letih. Aku hanya berdiam diri melihat Datuk menangis.

"Berjanjilah untuk bertahan hidup..."

Itu nasehat terakhir yang diucapkan dari mulut keriputnya. Itu juga hari terakhir Datuk menemaniku duduk di tepian Kuantan. Sekaligus menjadi awal hidupku sebagai sebatang kara. Seingatku, aku hanya mengangguk satu kali waktu itu. Dan Datuk terpejam untuk keabadian.

Semenjak itu hidupku segera berarak layaknya lengkitang yang kehilangan cangkang. 

Terkadang, aku berpikir bahwa kenangan manis tetap jauh lebih mengerikan daripada kenangan paling pahit. Seberapa pahit kenanganmu di masa lalu, itu hanya menimbulkan sesal dan membuatmu enggan menoleh ke belakang lagi. Tapi kenangan manis... ia akan terus merongrong dan berupaya menyeretmu kembali ke masa lalu, melawan keniscayaan, meski kau tahu itu tidak mungkin. Begitulah ingatan tentang Datuk bak siksa yang berkamuflase dalam bentuk kenangan manis, membelengguku, hingga saat ini.

***

Sekarang, umurku tigapuluh, atau bisa jadi empatpuluh, ah, maksudku mungkin limapuluh. Aku tidak pernah menghitungnya secara persis. Orang-orang juga tidak pernah memberitahukan perihal umur padaku. Mereka lebih suka berbisik-bisik di belakangku ketimbang mengajakku bicara.

Kendati Datuk sudah lama meninggal, ia masih sering memberikan kuaci padaku. Tiap kali aku terpaku sendiri menikmati fragmen suasana sungai Kuantan, sebungkus kuaci ada di sampingku. Begitu saja. Jangan tanyakan bagaimana caranya, kenyataannya aku juga tidak mengerti bagaimana ia melakukannya.

Gundukan tanah yang dulu menjadi tempat favorit kami, kini sudah bertransformasi dengan rupa tangga-tangga beton. Melalui tangga-tangga itu aku dapat menyaksikan pacu jalur lebih mudah, tanpa perlu ada orang yang memanggulku. 

Tapi Kuantan keruh sekarang. Banyak orang yang menghendaki sungai dambaan kami itu begitu rupanya. Kadang, di suatu malam yang dipenuhi kehitaman jelaga, aku mendengar Kuantan menangis. Seperti ketika Datuk akan meninggalkanku.

Ah, Datuk, Jika dulu kulit kuaci yang kulemparkan ke badan Kuantan saja membuatnya berang, seharusnya aku bersyukur karena lelaki tua itu lebih cepat menemui ajalnya. Ia tidak perlu mendengar Kuantan menangis. Ia tidak perlu mendengar bising mesin yang trengginas mengebor emas bumi kami. Ribuan mesin bertebaran mengapung pada anak-anak sungai, melakukan penambangan emas tanpa izin (atau mungkin sebenarnya diizinkan, aku tak paham ihwal ini). Kuantan mengeruh, Kuantan mengeluh, Kuantan mengaduh, Kuantan tak memiliki perengkuh.

Sekali waktu aku tak kuasa melihatnya seolah tanpa peran, tapi siapa yang peduli dengan Kuantan? Maka aku hanya duduk menikmati sengsaranya bersama sebungkus kuaci dari Datuk.

Kendati Datuk sudah lama meninggal, ia masih sering memberi kuaci untukku. Hanya saja, mungkin kematian membuatnya pikun. Ia membeli kuaci di kedai yang salah. Karena pemberian kuacinya sekarang terasa lebih keras dan hambar, atau mungkin gigiku yang mulai keropos.

Kemudian beberapa orang melintas tepat di hadapanku, matanya menyipit seiring kepalanya menggeleng-geleng pelan, seolah-olah aku orang gila. Karena aku makan kerikil...

Kuantan Singingi, Desember 2014


Relly A. Vinata
Lahir pada 12 mei 1993. Peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi. Cerpennya yang berjudul "Senja Bersama Siti Nurbaya" masuk dalam kategori cerpen pilihan Riau Pos 2014, dan menjadi antologi buku Negeri Asap. Baginya, menulis adalah cara paling sopan dan elegan, untuk merubah mental dan paradigma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar