(Dimuat pada koran Riau Pos, 25 Januari 2015)
"Berjalanlah ke barat sampai kau berdiri di ujung lelah yang teramat sangat, dan tanpa setitik mata air terlihat. Di sanalah kau akan bertemu dengan putramu yang gagah lagi hebat."
Ahlam tersedak dari lelapnya, lantas keringat melumuri kerutan di dahinya. Sudah lebih dari seminggu lelaki senja itu dihantui mimpi tentang Nakhla, putranya. Rupa-rupa mimpi hadir bagai putaran memori yang terpenggal. Suatu kali, mimpinya mengulang kenangan ketika ia mendekap erat Nakhla kecil di selasar rumah panggung, dan menikmati kemasyuran gunung Daik di pagi hari. Tepat saat cabang pada puncaknya memamerkan pesona tempias kabut remang. Di mimpi lain, ia menggenggam erat pipi Nakhla yang di janggutnya mulai bermunculan rambut-rambut tipis. Itulah saat terakhir Ahlam melihat anak bujangnya di Tanjung Buton sewindu silam. Mengiringi kepergian Nakhla berlayar.
Dulu Ahlam berpikir, sebagai anak lelaki, Nakhla memang sudah seharusnya mengarungi rumitnya bahtera kehidupan. Agar kelak bujang satu-satunya itu kembali sebagai pribadi teruji, pemimpin sejati, dan memang setinggi itulah Ahlam menggariskannya. Namun dikala maut menjemput Maenah, istrinya, setahun silam, Ahlam begitu merindukan akan pulangnya Nakhla. Masa tua berteman kesendirian menyebab segala jadi terasa lamban.
Hari-hari dilalui dengan belenggu rindu yang semu. Tak pasti Nakhla akan kembali. Bisa esok, lusa, atau bahkan saat nyawa Ahlam telah tiada. Saat ini pastilah bujangnya telah beranjak mendewasa. Ahlam hanya mampu membayangkan dan bertaruh pada harapan.
Tapi malam itu mimpinya sungguh aneh. Bukan barisan abstrak bayangan Nakhla seperti pada mimpi sebelum-sebelumnya. Melainkan rupa sosok lelaki bertubuh besar, berbaju putih, rambut panjang dan jenggotnya juga putih, serta berparas wajah bersih. Dalam mimpinya, lelaki itu laksana mengambang di awang-awang dengan cercah cahaya melingkar di tubuhnya. Seraya tersenyum ia memberi semacam wejangan tentang di mana keberadaan anaknya. Pada Ahlam, sosok itu juga memberi titah agar ia berjalan ke barat sampai ujung lelah yang teramat sangat, tanpa setitik mata air terlihat, di sanalah ia akan bertemu dengan putranya yang gagah lagi hebat.
Ahlam terduduk dan mengelap butiran-butiran peluh di dahinya. Mimpi macam apa pula itu! Rutuknya dalam hati. Lalu tangannya menggamit segelas air dari atas meja untuk membasuh kerongkongan. Tak cukup memenuhi dahaganya, ia beranjak tertatih ke dapur. Satu dua kali tubuhnya nyaris rebah andai tidak menyangga dinding kayu tripleks. Memenuhi lagi isi gelasnya dengan teko yang terbuat dari tembaga. Dan meminumnya lagi hingga tandas.
Derap kaki menuntunnya bergerak ke bibir jendela. Memandangi ruas timur cakrawala. Dari sana ia dapat menyaksikan transisi hari tatkala matahari tengah berjuang untuk berdiri. Dan merenung, seperti melihat palung-palung yang sering membuat ingatannya tersandung.
"Bagaimana bila mimpi itu benar?" Gumamnya dalam tatap yang menelan terawang. Pesan dari sosok serba bercahaya itu masih lekat bergetar di gendang telinga Ahlam. Rindu yang tak tertakar barangkali menuntut seseorang untuk berbuat sesuatu, namun melaksanakan perintah dari ihwal sebuah mimpi?
"Oh, itu konyol!" Ahlam mendesis seakan menolak mentah-mentah pesan yang datangnya dari antah-berantah itu.
Sejatinya ia sudah memendam rapat mimpi itu pada ruang terkecil di kepalanya. Berusaha melakukan rutinitas hariannya secara normal. Menanak nasi, memasak air, membuat lauk sarapan ala kadarnya. Dan Ahlam sadar dari pandangannya yang kosong, ia seumpama robot mekanis bergerak statis. Tanpa tujuan memilih arah, tanpa sentuhan gairah.
Maka disandarkan tubuh yang selalu tampak letih itu di dipan serambi. Sekali lagi mimpi itu begitu saja menyesaki bagian pikirannya yang paling rapuh. Mimpi itu bisa saja melenceng, tapi ia mulai berpikir bahwa ia menolak jika dihadapkan pada pilihan antara berdiam diri menunggu Nakhla, atau justru yang sedang ia lakukan adalah berdiam diri menunggu habisnya usia.
Ahlam mulai tanpa peduli terkait perkara kabar mimpi itu halusinasi belaka atau pembawa petunjuk nyata, yang pasti ia harus melakukan sesuatu untuk menemukan anaknya. Ia pun berkemas. Mengambil beberapa pakaian pada lemari keropos yang landasannya habis digerogoti tikus. Sejumlah baju di timbunan bawah tak urung juga bolong-bolong dimakan hewan pengerat itu. Lalu melesakkannya pada ransel kecil. Aneka bekal juga dipersiapkan, mulai dari botol air mineral seukuran betis beserta makanan yang akan menemani perjalanannya.
Jalan menuju setapak barat.
***
"Coba kau tengok ini, Nak..."
Ahlam menjumput kerikil pipih di antara pasir putih pantai batu berdaun. Dengan satu gerakan gesit batu itu melesat ke bibir pantai. Gulungan ombak masih terlihat cukup jauh. Pada permukaan air, batu itu terpental beberapa kali sebelum tenggelam.
"Bagaimana kau melakukannya, Ayah?" Nakhla kecil mengerjap takjub. Mata jenakanya membulat sempurna.
Sekali lagi Ahlam menjumput batu di sekitar kakinya, kali itu diberikan pada Nakhla. "Cobalah."
Nakhla mencoba mengingat bagaimana cara ayahnya melempar zat padat itu hingga seperti sedang melompat-lompat di atas air. Dengan tubuh condong, dari samping, tangan kecilnya sekuat tenaga melontar batu itu. Dan si batu langsung tercelup begitu saja. Nakhla kecil melengkungkan sudut bibir. Cemberut.
"Tidak apa-apa," ucap Ahlam sembari mengusap acak rambut anaknya.
Mereka lantas duduk pada gundukan batu-batu. Di antaranya tumbuh pohon-pohon yang usianya tak tertaksir. Pohon-pohon yang tumbuh pada gugusan batu itulah yang konon menjadi muasal nama pantai itu. Pantai batu berdaun.
Adalah tempat yang menjadi favorit mereka. Nakhla selalu suka di dekat laut. Ketika debur ombak menggelegar, dan angin akan liar mengibarkan pakaiannya. Serupa halnya dengan Ahlam.
"Bagaimana mungkin kerikil itu bisa melompat di air, wahai Ayah?" Tanya Nakhla sepolos lahirnya ulat sutera, tampak sekali wajahnya yang belum puas.
Jika Ahlam seorang fisikawan, mestilah ia akan memaparkan teori tegangan permukaan yang dimiliki air, sehingga batu yang dilemparkan secara horizontal di atasnya dapat melanting. Namun ia hanyalah nelayan yang dari kecil telah berkerabat dengan biduk-biduk sampan.
"Nah, begitulah alam," jawabnya. "Selalu menyuguhkan keajaiban-keajaiban. Batu pun dapat berjalan di atas air."
Nakhla manggut-manggut seolah mafhum.
"Kau pun bisa seperti batu itu, Nak."
"Benarkah?"
"Ya, jika kau memiliki keinginan sekuat dan sekeras batu itu, kau dapat melompati lautan hingga kau menemui pulau-pulau lain."
Sungguh, Nakhla tidak mampu menemukan korelasi dari analogi kerasnya batu dengan menemui pulau-pulau, seperti yang diucapkan ayahnya. Tapi ia berusaha untuk percaya. Lagipula ada hal lain yang menyesaki rasa penasarannya.
"Adakah tempat selain Lingga ini, Ayah?"
"Tentu saja, pandanglah ke sana..." Ahlam mengacungkan jari telunjuknya jauh ke ufuk timur. "Di sana ada pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Dan di sebelah utara, ada negara serumpun kita, Malaysia."
Nakhla memicing, mengamati objek yang ditunjuk ayahnya, dan tidak ada yang ia temukan selain seberkas garis cakrawala yang memisahkan laut dan langit. "Dan aku harus ke sana?"
"Ya."
"Bagaimana kalau aku tenggelam seperti batu yang memantul dan akhirnya tenggelam."
Dengan ujung jempol, Ahlam menggaruk dagunya beberapa jenak, lalu menerawang. "Itu tidak akan terjadi. Kau calon pemimpin besar, Nakhla. Tidak ada yang sanggup menenggelamkanmu."
"Kenapa pemimpin harus mengarungi pulau-pulau?"
"Karena pemimpin harus memahami perbedaan."
Nakhla tercenung sesaat, seperti menimbang-nimbang sesuatu. "Aku tidak ingin meninggalkan Dabo, Ayah. Teman-teman di sini sangat baik padaku. Aku juga tidak pernah menakali mereka."
Ahlam tersenyum, dan sekali lagi mengusap asal rambut anaknya. Nakhla jelas belum terlalu besar untuk memahami cita-cita yang ingin ia tanam. Tapi semenjak itu, Ahlam terus mendengungkan kata 'pemimpin' di telinga Nakhla bak sedang memupuk benih-benih tanaman. Ia yakin, kelak, itu akan terwujud.
Matahari bedengkang menyengat ubun-ubun. Ahlam melihat berkeliling yang dipenuhi sahara rerumputan. Tak terukur sudah berapa jauh ia menempuh perjalanan. Bergerak terus ke barat, menelusuri kelok setapak, dan sesekali melintasi genangan sungai. Napas tuanya mengkis-mengkis. Sekarang ia duduk di bawah merbau, dan mengamati hamparan rumput luas di depannya. Rumput itu menguning diulum kemarau dan mungkin beberapa hari lagi sengat panas akan membakarnya. Angin menerpanya seperti sedang menari-nari.
Ia meminum beberapa teguk dari botolnya sebelum melanjutkan perjalanan. Hanya memori Nakhla hadir bagai alunan komidi putar yang menemani dan menyembuhkan langkah letihnya.
***
Tubuh itu menggelepar pada bongkahan tanah yang retak-retak kehilangan kelembapan. Tutup dari botol yang telah kosong menggelinding di sampingnya. Ranselnya memuntahkan segala isi. Sudah dua hari, dan sendi keroposnya menolak untuk terus berjalan. Ahlam ambruk pada medium tanah gersang. Bibirnya yang pecah-pecah bergetar tanpa henti. Seluruh perbekalannya habis. Ia merintih, tak kuat lagi.
Segenap upaya diangkatnya kepala dan menengadah, menantang sang surya. Ia telah sampai di ambang lelah yang teramat sangat, juga tak ada air yang dapat mengecap lidahnya. Sekarang ia menuntut sosok bercahaya membuktikan mimpinya.
Lama ia menatap matahari dengan mata telanjang, hingga ia dapat melihat bulatnya. Namun tidak ada sosok yang keluar dari sana, seperti menggantang asap. Lalu matanya berkunang-kunang dan ambruk untuk kedua kali. Kali ini tak bergerak lagi.
Lamat-lamat suara adzan berkumandang. Ahlam dapat mendengarnya karena suara itu kian kemari kian jelas. Kian lama kian mendekat hingga terasa di atas kepalanya. Ahlam membuka mata. Bukan, matanya masih tertutup, tapi entah bagaimana ia dapat melihat. Ya, ia melihat dengan mata tertutup. Dan pendengarannya tidaklah keliru, karena memang ada orang adzan saat itu. Pada daratan yang agak tinggi orang-orang berdiri dalam formasi lingkaran. Berbaju hitam semua.
Demi Tuhan, Ahlam melihat Nakhla berdiri di salah satunya. Pipinya berlumur tangis. Rahangnya terlihat tegas sekarang. Tapi sosok bercahaya telah menipunya, Ahlam juga telah menipu diri sendiri. Nakhla tak ubahnya seperti pelaut kebanyakan dengan jenggot berpadu jambang tak terawat, dan bajunya lusuh. Bukan ciri-ciri orang hebat atau bahkan pemimpin.
Karena dari sini sangat jelas, meski matanya tertutup dan urukan tanah perlahan menguburnya. Dari sini, Ahlam melihatnya dengan jelas sekali. Dari rahim bumi, tempat manusia kembali...
Lingga, Desember 2014
Relly A. Vinata
Lahir pada 12 mei 1993 di Kuantan Singingi, Riau. Aktif menulis sejak setahun terakhir. Cerpennya yang berjudul Senja Bersama Siti Nurbaya menjadi salah satu cerpen pilihan koran harian lokal Riau Pos 2014. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau.
Lahir pada 12 mei 1993 di Kuantan Singingi, Riau. Aktif menulis sejak setahun terakhir. Cerpennya yang berjudul Senja Bersama Siti Nurbaya menjadi salah satu cerpen pilihan koran harian lokal Riau Pos 2014. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar