Kategori

Catatan (3) cerpen (12) puisi (1)

Jumat, 24 April 2015

Distrik Tanpa Rahasia

Seharusnya tak perlu waktu lama berada pada satu ingatan di masa lalu, agar seseorang bisa bertemu rindu dan pulang. 

Jika kau ingat pada sebuah tempat yang membuatmu tak bisa menyimpan segala rahasia, maka pulanglah ke distrik kita. Saat segalanya harus benar, menurut kita. Dan idealisme adalah lauk-pauk dari nasi yang berupa gagasan-gagasan gila. Lantas kita, kau dan aku, akan menghabiskannya pada sebuah sendang yang deras alirannya sanggup melumat bising derik serangga.
Di sendang yang kau juluki sebagai tempat penyungkup rahasia itu, dulu kau leluasa memaki mereka. Mereka yang tidak sama dengan kita. Kau lebih sering berkacak pinggang dan berteriak hingga perutmu terdorong beberapa senti ke depan. Dan aku yang duduk di antara legam hitam bongkah bebatuan alam, hanya akan tersenyum kecil melihat tingkah konyolmu. Di sana tidak ada siapa-siapa. Hanya kita berdua. Kita yang berbeda.

"Cuma di tempat ini, Lien, aku bisa berbicara sesukaku!" ucapmu sebelum menghujam kedangkalan sungai dengan tombak-tombakan yang terbuat dari bambu diruncingkan, lalu mengangkatnya. Seekor ikan nila seukuran dua jari yang tertusuk di bagian perut menggelepar-gelepar pada ujung tombak. Untuk keahlian semacam itu, aku curiga, jangan-jangan Tuhan menyematkan reseptor elang di kornea matamu. Bayangkan, kemungkinan gagalmu hanya satu kali dalam sepuluh percobaan. Bukan main!

"Tapi di sini ada aku, Jin."

Kau berbalik dan tersenyum. Memberikan hasil buruanmu padaku. Lekas aku akan membersihkan sisik ikan kecil itu, membuang kotoran dari perutnya, mengolesi bumbu sederhana dan menjejerkan dengan buruan sebelumnya di kawat pemanggang. Kau menenggerkan tombakmu dan beralih mengipasi bara perapian dengan beberapa helai daun randu.

Kita sudah melakukannya sejak lama hingga kegiatan seperti itu bak ritual bagi kita berdua. Pagi di akhir pekan, aku akan mendengar bunyi Kring! yang kutahu itu berasal dari sepedamu. Sebuah stimulasi agar aku segera berjingkat dan berhambur keluar rumah menenteng satu botol kecap dan sebungkus garam. Duduk di kursi penumpang di belakangmu dan kau akan mengayuh sepeda itu begitu rindik, seolah tiap tempat adalah pemandangan yang patut dinikmati. Melintasi bising suara orang bergumul di kedai-kedai membicarakan apa pun, lalu lenyap ketika digdaya hutan pinus menyisakan derit roda dari sepedamu. Tak perlu banyak kelok jalan hingga sampailah kita ke sendang ini.

"Aku tahu siapa dirimu, Lien," katamu seraya tak henti mengombang-ambingkan daun. "Kita sama. Kita adalah kekeliruan di distrik ini."

Sewajarnya, aku mafhum dengan arah pembicaraanmu. Bukankah sebelum ini kau juga sering mengucapkannya? Di distrik yang selaput rahasianya telah terkoyak, segala ucapan akan berkamuflase dalam bentuk air yang akan melewati keran-keran dan memenuhi ember bak tiap rumah penduduk. Tak ada yang tersembunyi. Kau akan sering mendengar pembuka obrolan semacam ini di etalase pertokoan, kedai-kedai, atau jalur pedestrian :

"Heh, anak perempuan Pak Sumin itu, yang terlihat lugu dan pendiam itu, sekarang bunting!"

"Eh, masa?"

Dan tersebarlah isu itu bagai laron di musim penghujan memenuhi hingga sudut distrik. Kau mendengarnya tanpa sengaja, kemudian membawaku bertandang ke rumah Pak Sumin. Belakangan tahulah kita bahwa anaknya tidak hamil, melainkan di perutnya bersemayam tumor ganas.

"Si Jumila," ucap salah seorang antara gerombolan lelaki paruh baya di pasar kamis, "sejak ditinggal suaminya merantau, kutengok lelaki kerap masuk ke rumahnya tengah malam buta."

"Makjang! Memang berapa tarifnya?"

"Gundulmu!"

Seperti biasanya, kabar itu berhamburan layaknya debu dihempas badai. Distrik heboh. Malam itu juga kau bersama sepedamu sengaja membawaku ke rumah reot Jumila di ujung gang. Tepat di depan pintunya kita melihat sesosok tubuh melesat diikuti panci gosong. Panci itu sukses mendarat di batok kepalanya dan membuatnya tersungkur ke semak-semak. Seakan dikejar setan, tanpa rintih sosok itu bangkit dan kembali lari lintang pukang.

Kau meyakinkanku untuk tetap bertamu ke rumah itu. Tidak sia-sia. Jumila, istri muda tanpa anak itu, menuturkan bahwa sosok yang baru saja keluar dari rumahnya adalah lelaki hidung belang yang berniat mencumbunya dengan iming-iming segepok uang.

"Cih! Dia pikir aku pelacur!" umpatnya. Aku bersembunyi di balik badanmu. Suara lantang Jumila ternyata membuatku sedikit takut. Perempuan itu juga menerangkan bahwa yang sering bertamu ke rumahnya tak lain adalah abang kandungnya sendiri. Sebab suaminya belum pernah memberinya uang kiriman, ia sering mendapat barang keperluan harian berupa sembako yang diberikan abangnya itu. Demi mendengarnya, kita hanya bisa berdecak dan menggeleng-geleng, seakan tak habis pikir dengan kabar tak berdasar yang kerap simpang-siur di distrik ini.

Begitulah kondisi tempat ini, andai kau berkata kau baru saja ditemui Tuhan yang menitahkanmu untuk memberitahu warga bahwa distrik akan segera diluluh-lantakkan, maka mereka akan begitu saja percaya dan dengan konyolnya berbondong-bondong meninggalkan distrik.

Semenjak itu kita tak pernah percaya pada desas-desus. Pun mengurangi tindak-tanduk, karena di distrik ini diam pun sarat menjadi sebuah kesalahan. Mereka akan tetap menggunjingkanmu sebab cenderung mengisolasi diri.

"Kukira ini sudah matang," kau membuyarkan lamunanku. Gelagapan, aku justru menyurukkan kawat pemanggang ke dalam bara yang sebagian telah menjadi abu. Alhasil ikan panggang separuh terbenam dalam abu itu. Kau mengerutkan dahi.

"Maaf, maaf tidak sengaja."

"Biar kubersihkan," tanganmu mengambil kendali rajutan pangkal kawat segiempat itu. Percik abu bertebaran ketika mulutmu meniupnya. "Sepertinya kau banyak pikiran, Lien."

"Aku... aku hanya memikirkan distrik ini."

"Maksudmu, kau menggunakan kalimat itu sebagai alasan karena telah membumbui ikan ini dengan abu?"

Aku mendengus, "Sungguh, aku menyesal telah menodai jerih payahmu. Tapi aku serius, Jin!"

"Oh, Baiklah, baiklah."  Kau mengangkat bahu dan kembali hibuk meniupi ikan yang berselimut serbuk putih. Seolah dengan begitu perdebatan kita usai.

Tanganmu menjumput ikan yang bersih lagi tampak paling besar dan menyerahkannya padaku. Kelak aku menyesal karena tidak pernah bertanya kenapa kau selalu memberikan bagian paling besar untukku dan hanya memilih mengucap terimakasih sebagai basa-basi. Lalu memakannya.

Pahit. Ikannya gosong.

***

"Kautahu, alangkah kasihannya hidup kita bila lahir, tumbuh, dewasa dan mati, selamanya hanya di distrik ini."

Bagaimana aku bisa lupa pada kalimat pembukamu pada satu pertemuan yang membuatku khawatir. Kalimat yang berperan sebagai penyingkap tabir dari kamus baru hidup kita. Kau bilang, kita pantas menjadi wartawan dan wartawati yang akan meluruskan segala kabar tak berdasar. Atau bahkan Badan Intelijen Negara. Mungkin, kaukira, aku senang mendengar mimpi besarmu. Sementara dalam bayangan linierku, kita akan menua bersama di distrik ini. Dalam hal ini akan ada cincin yang serupa melingkar di jari manis kita. Tentu kau tahu maksudku.

"Suatu saat nanti kau akan pergi?"

Kau tersenyum remeh seakan meladeni pertanyaan bocah umur lima tahun. Sebelum berkata kau mencubit ujung hidungku. Sungguh, sebuah kebiasaan aneh yang sulit diterima nalar. "Kau merasa bisa hidup selamanya dikelilingi mulut-mulut nyinyir?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Jin!"

Tanah masih lembab oleh sisa hujan malam tadi, barisan pohon pinus di belakang kita juga masih menyisakan tetes butir-butir air dari helai daunnya. Tapi kau memutuskan untuk bergerak menenggelamkan separuh betis kakimu ke dalam sendang. Entah apa maksudmu. Melalui jernihnya aku dapat melihat ikan kecil berenang melewati sela-sela kakimu. "Menurutmu, tidakkah sia-sia Tuhan mencipta bumi seluas ini, jika kita hanya mengungkung diri?"

"Suatu saat nanti kau akan pergi?" Kuulangi pertanyaan dengan penuh penekanan. Aku tidak suka pembicaraan berbelit-belit. Sedangkan sikapmu sama sekali tak memancing firasat baik dari persepsi paling liar yang bisa kubayangkan.

Kau membungkuk, mengambil kerikil dari kedangkalan sendang. Sejenak melanting-lantingkan zat padat itu di tanganmu, kemudian menghempaskannya. Kerikil melesat, membentur dengan batu yang lebih besar, lalu pecah berkeping-keping. "Dengar, suatu saat aku akan pergi dan kembali membawa gembok demi mengunci mulut-mulut di distrik ini!"

Jin, tahukah kau rasanya kehilangan sebelum ditinggalkan? Aku merasakannya saat itu. Kau belum pergi, bahkan masih di hadapanku, namun kehilangan seumpama abrasi yang perlahan menggerogoti benteng pertahananku sejak saat itu. Ketika kugerakkan langkah dan memelukmu dari belakang, kuakui aku memang sedih, tapi tidak menangis. Sebagaimana kutahu kau akan tanpa ampun menyalahkan dirimu sendiri jika aku melakukannya.

Celakanya, kali itu kita tidak hanya berdua di sendang itu. Ada sepasang mata yang secara diam-diam mengamati garak-gerik kita. Kita mengetahuinya ketika kau tanpa sepatah kata menggulirkan roda sepeda, di kursi penumpang aku hanyut bersama pikiranku sendiri, dan tak berapa lama kita bergerak memunggungi hutan pinus, sekerumunan orang--dengan gelagat layaknya menangkap basah maling--menghentikan perjalanan pulang kita.

Aku menjerit mendapati tubuhmu ditarik paksa oleh mereka. Mendorongmu kesana-kemari, memontang-mantingkan badanmu, dan seperti mengarakmu entah ke mana. Sepeda ringsek oleh kaki-kaki yang trengginas menghujamnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain meronta karena Bapak mencengkeram pergelangan tanganku. Yang kudengar hanya lengkingan yang melamat seiring hilangnya kerumunan itu bersamamu.

"Pemuda ini berbuat mesum!"

"Bakar hidup-hidup!" Timpal yang lainnya menggebu-gebu. Umpatan tak henti sahut-menyahut memberondong keheningan hari itu.

Malamnya aku terisak dan bersimpuh di kaki Bapak. Berharap ia dapat menghentikan kegaduhan. Dari mulutnya aku mendapat kabar bahwa warga tidak benar-benar membakarmu, namun dengan satu syarat, kau dan seluruh keluargamu harus meninggalkan distrik. Seperti yang kau katakan, kau akan pergi. Meski dengan cara diusir.

"Bapak tahu dia lelaki baik, dan tak mungkin berbuat kurang ajar padamu. Bahkan Bapak percaya penuh padamu. Tapi mesti kau tahu, Lien, terkadang seorang diri berselendang kebenaran akan tampak cacat melawan topeng keramaian."

Malam itu aku menghabiskan air mata.

***

Sekarang, aku harus menggunakan kacamata cembung untuk membacakan dongeng untuk cucuku. Gigiku bisa kau hitung hanya dengan menjabarkan tangan. Dan rambutku sering terasa gatal di beberapa bagian karena uban.

Kau sendiri belum punya cucu. Aku tahu karena sering melihatmu di televisi. Tentu dapat kusimpulkan kau lebih dahulu meniti karir sebelum kawin. Istrimu tampak masih muda dan anak-anakmu masih kecil.

Tak kusangka kau menjadi orang penting di negeri ini, Jin. Yang bahkan sanggup membungkam seluruh wilayah, tanpa terkecuali distrik kita dulu. Mereka sekarang tak mampu banyak bicara selain hanya bisa menduga-duga. Kau hebat, Jin!

Ingin rasanya mengundangmu datang ke sendang kita. Menyantap buruanmu lagi dan sejenak kita dapat terpingkal-pingkal dan membeberkan keluh masing-masing. Ah, pasti menyenangkan sekali.
Pulanglah, Jin. Aku tidak akan menagih gembok yang kau janjikan atau memaksamu mengungkap rahasia apa yang sedang kaupendam untuk negeri ini. Aku hanya ingin duduk berdua denganmu menikmati gemericik air, desir angin, hutan pinus. Kalau kau mau, aku juga bisa mendongeng untukmu. Satu dongeng yang paragraf awalnya kurang menarik, karena cucuku kerap lebih dulu tidur sebelum aku selesai membacanya. Mungkin dongeng ini memang kurang cocok untuk anak kecil. Paragraf yang hanya berisi satu kalimat dengan susunan kata-kata rancu. Kukira pengarangnya kurang kreatif membuat pembuka cerita yang memikat.

Tapi dengarlah baik-baik, siapa tahu kau menyukainya :

"Seharusnya tak perlu waktu lama berada pada satu ingatan di masa lalu, agar seseorang bisa bertemu rindu dan pulang."

Bagaimana? Lanjut?


Relly A. Vinata
Tinggal di Kuantan Singingi, Riau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar