Kategori

Catatan (3) cerpen (12) puisi (1)

Minggu, 28 Juni 2015

Rumah Simpang Empat

Musim kemarau, Mei 1986

Di bawah raksasa Angsana, aku menyandar dan mengamati kondisi betisku. Linu. Ada lebam biru yang melukis di sana. Sial sekali hari ini!

Celana pendek merah yang menjadi seragam sekolah tak berhasil menutupi area itu. Aku tak berani pulang. Mak pasti tak segan menyemburkan ludah ke mukaku dengan umpatan-umpatan yang baru akan berhenti jika ada kereta api melintas di rel depan rumah kami. Belum lagi jika membayangkan mak sedang mengunyah daun sirih, bisa-bisa aku menghabiskan waktu semalaman di kamar mandi demi membersihkan bercak-bercak merah yang muncrat memenuhi pipiku.

Sial sekali hari ini. Penghuni rumah simpang empat berhasil membalikkan batu yang kulempar ke pintunya dan mengenai betisku. Biasanya dengan gesit aku dapat menghindar atau menjadikan ransel sebagai proteksi ampuh untuk membendung serangan balik dari lelaki renta penghuni rumah reot itu.

***

Sebelum bapak meninggal oleh skizofrenia yang diderita, ia pernah bilang, penghuni rumah simpang empat itu dulunya adalah pentolan PKI. Dialah penyebab hilangnya kakek.
Sama halnya dengan penghuni rumah simpang empat, kakek juga mulanya antek-antek PKI. Namun saat negara diterpa gonjang-ganjing dan kakek mengira PKI akan segera dimusnahkan dan bedil sewaktu-waktu dapat meremukkan tengkoraknya, ia membawa bapak--yang saat itu masih remaja--ke ibukota menandatangani pernyataan pindah partai. Saat itulah penghuni rumah simpang empat melaporkan kakek sebagai pengkhianat.

Esok paginya kakek sudah tidak ada di kelambu kamarnya.

Aku harus menunggu hingga umur sembilan tahun dan duduk di kelas empat untuk mengetahui apa itu PKI. Pak Aidit, guru sejarah kami, menjelentrehkan kebobrokan partai komunis itu. Pada beberapa bagian dari penjelasannya aku melihat Pak Aidit melebih-lebihkan seakan me-reka kejadian yang tidak terjadi. Mungkin ia terlampau kesal karena ada satu orang yang mencoreng reputasi nama Aidit di seluruh negeri, termasuk dirinya.

Semenjak itu aku menyesal memiliki rumah yang satu-satunya jalan menuju sekolah harus melewati simpang empat. Artinya aku harus melalui rumah reot yang tak jelas mana jendela, mana dinding, mana ventilasi, karena bagian depan kesemuanya menyerupai pintu. Ketika zaman beralih dan rumah-rumah telah bertransformasi menjadi beton-beton kokoh, rumah simpang empat tetap saja begitu rupanya. Belum lagi pohon beringin yang membuatku berpikir penghuninya jelas bukan jenis manusia konsisten. Ya, rumah PKI itu. Aneh sekali.

Masih kuingat bagaimana pertama kali aku tertegun lama memandangi rumah itu. Kala itu pulang sekolah, aku tidak berniat buru-buru sampai ke rumah. Sejenak kupandangi keadaan rumah itu. Pohon beringin yang menjulurkan serabut dari tangkai, lalu sesekali aku melongok ke area belakang. Barangkali di sana ada kandang banteng atau setidaknya sangkar garuda. Lantas tiba-tiba salah satu bagian kayu berderit, dan barulah kutahu bagian mana yang berfungsi sebagai pintu saat lempengan jati berpernis itu terbuka. Dari dalam menyembul sebuah kepala dengan rambut ikal putih disertai sorot nyalang serupa aligator melihat mangsa.

"Mau mencuri ya!"

Aku menunduk, dan bergegas memunggungi rumah itu. Semu merah di wajahku bukan pertanda ketakutan, melainkan dendam tak terperi.

Besoknya aku berbekal batu di genggaman tangan. Kulempar batu itu ke pintu rumahnya.

Braaakkk!

Penghuni rumah membuka pintu dengan amarah yang meletup-letup. "Heh! Apa maumu?!"

Aku menjulur-julurkan lidah dan membelakanginya dengan pantat yang kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Ia berang lantas mengejarku. Sebuah hal sia-sia yang hanya akan melipatgandakan kemenanganku. Larinya rindik serta napas tuanya membuatku semakin kalap memperdayainya.

"Beraandaall!"

***

Langit beralih magenta. Beberapa saat lalu aku duduk di bantalan rel menajamkan telinga. Bila sewaktu-waktu menangkap bunyi kereta api akan segera melintas, saat itu aku akan pulang. Agar mak tak enak hati memarahiku.

Tapi setelah kupikir tak ada rute perjalanan kereta sampai sore menjelang, kupaksakan pulang dengan kaki terpincang-pincang. Seraya berdoa mak tidak sedang makan sirih hari itu.

Engsel pintu berderit saat tanganku membukanya. Siluet muncul dari tamparan lampu neon di belakangnya. Mak yang berkacak pinggang tak ubahnya seperti tokoh antagonis di film-film thriller. "Ha, dari mana saja, jam segini baru pulang?" sergapnya. Aku memicing karena silau. Lalu berusaha mengamati mulut mak yang bergerak-gerak. Syukurlah tidak makan sirih. "Eh, itu kaki kenapa? Lebam begitu!"

Aku menunduk.

"Astaga! Pasti kelahi lagi, bandel betul, susah-susah aku menyekolahkanmu tapi perangai macam berandal, sekolah agar kau dididik supaya menjadi orang baik bukan belingsatan, tak ingat bagaimana payahnya cari uang untuk sekolahmu, tak ingat Pak Sofyan yang anaknya kau tanggalkan giginya, anak Bu Jum yang pelipisnya robek karenamu, anak Pak Burhan, anak Wak Nadim, anak Pak RT, Pak Lurah, Pak Mantri, mau jadi preman, iya.... Ha? Ha? Ha?" Mak menoyor keningku dengan telunjuknya tiga kali. Mak memang tak mengenal tanda titik dalam kata-katanya. Bahkan kalau ada jenis lomba tujuhbelasan yang melombakan orang bicara paling cepat, aku berani bertaruh mak juara satu.

"Jawab, heh! Siapa lagi malam ini yang akan datang ke rumah ini membawa anaknya yang sudah babak-belur kauhajar?"

Aku menggaruk pantat, "aku tidak kelahi, Mak."

"Lha, terus apa? Nyuri rambutan Yu Jinem lagi, lompat pagar sekolah lagi, atau me..."

"Dilempar batu penghuni rumah simpang empat."

Mak berhenti, ronanya mendadak bingung. Aku melihat wajahnya pasi bagai spons yang menyerap semua kata yang akan segera terlontar. "Coba ulangi?" Nadanya berubah lirih.

"Aku melempar rumahnya, dan dia melempar betisku."

Tanpa berkata-kata lagi mak menggenggam pergelangan tanganku dan mendudukkanku di amben dalam. Di sana aku layaknya duduk sebagai pesakitan. Mak menatapku lama. Seolah melihat lebih dalam melalui mataku.

***

Aku didakwa mak sampai malam larut. Saat ia bertanya kenapa aku melempar rumah simpang empat, kujawab karena bapak bilang dia dedengkot PKI. Memangnya kenapa kalau dia PKI, kata mak lagi, karena Pak Aidit bilang PKI itu jahat, jawabku lagi. Mak menggeleng lemah sembari menghela napas berat.

"Kau tidak bisa menyamaratakan semua. Kadang ada jenis orang yang hanya ingin mencari aman," kata mak. Tangannya perlahan menjumput lembaran-lembaran hijau dari tepak sirih. Aku bersiap menutupi muka dengan kedua telapak tangan. "Menjadi mayoritas agar aman."

Mak mulai meng-kremus daun sirih. "Bisa jadi penghuni rumah simpang empat begitu adanya. Sama halnya dengan agama, kau tidak bisa menuduh agama ini selalu teroris, agama anu oportunis. Jangan-jangan nanti kau malah memilih tidak beragama."

"Kau tidak bisa menyamakan agama dengan partai, Mak."

"Tapi ada partai yang berdiri atas nama agama."

Aku mendengus, "mereka saja yang menjadikan agama sebagai tameng partai. Seolah dengan begitu mereka terlihat baik. Padahal tidak semua begitu, masih banyak yang perutnya buncit."

"Nah, itu, itu... penghuni rumah simpang empat belum tentu buruk."

Jek! Jek! Jek! Ngunng! Ngunng! Ngunng!

Rumah kami bergetar. Kereta api melintas di depan.

Tengah malam jelaga itu juga mak menggandeng tanganku memyambangi rumah simpang empat. Lebih tepatnya memaksa, karena semula aku tak berkenan. Tapi bagaimanapun aku harus bersyukur karena mak tak menyembur mukaku dengan lendir bercampur remah sirih.

Mak mengetuk pintu. Aku bersembunyi di belakangnya. Pintu berderit layaknya suara yang pernah kudengar di film-film horor. Lelaki tua itu memandangi kami bergantian sebelum mempersilakan masuk.

Dapat kulihat labirin ruangan yang dipenuhi kayu usang berantakan. Mesin jahit yang di sela-selanya terajut rumah laba-laba memepet dinding. Televisi yang tombol-tombolnya telah lenyap tergeletak di lantai semen.

"Tidak apa-apa, namanya juga anak kecil," kata lelaki itu tersenyum, setelah sebelumnya Mak mengucap basa-basi dan meminta maaf. Senyum yang tidak naluriah menurutku.

Kuperhatikan lagi lemari di sudut ruangan yang landasannya ludes digerogoti tikus. Beberapa tali yang melintang dari tiang rumah ke sela dinding kayu, yang kuperkirakan berfungsi sebagai jemuran kala musim hujan. Juga satu ruangan yang tak kutahu isi dalamnya karena bersekat kain, mungkin kamar.

"Tidak apa-apa, asal jangan diulangi lagi," tandas lelaki tua diiringi anggukan canggung Mak.

Dari kursi kayu tempat kami duduk, aku melihat pintu bagian belakang terbuka. Melalui pintu itu aku dapat melihat halaman belakang rumah. Tidak ada kandang banteng atau sangkar garuda seperti dugaanku. Tanpa pepohonan dan rumput liar. Yang ada hanya tanah bergunduk yang di atasnya seperti bertengger batu nisan.

"Kuburan siapa itu?" Celetukku.

Sontak lelaki itu menatapku lekat.***


Relly A. Vinata
Lahir di Kuantan Singingi, Riau, 12 mei 1993. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau.

1 komentar:

  1. Setelah baca cerpen ini, saya jadi teringat sejarah kelam 60-an. ya hubungannya dengan Komunis. seperti yang dicantumkan paragraf awal, masyarakat kecil yang tidak tahu tentang politik, menjadi korban.

    BalasHapus