"Dengar, Nes... Kalau keyakinanmu itu membuatmu jadi seorang penakut, hanya ada dua kemungkinan: kau sedang meyakini hal yang salah, atau caramu meyakini sesuatu itu salah."
Beberapa hari lalu ucapan itu keluar dari mulut Daeng Zaid. Saat ia baru saja pulang mengajar madrasah dan melihatku duduk terpekur di teritis rumah. Ia memilih singgah sebentar. Sebagai tamu, kupersilakan ia masuk, namun Daeng menolak dan memilih duduk di serambi. Takut jadi sumber fitnah, katanya.
Nasihat yang sebenarnya tidak ditujukan padaku itu terlontar di sela-sela sesapan teh yang kusuguhkan. Sebagai kalimat pembuka dari orang yang dikenal tak suka basa-basi. Aku tahu Daeng sedang menyindir suamiku, dan sedikit banyak hal itu menimbulkan rasa tidak terima di benakku.
"Lalu menurut Daeng," aku meremas jemari yang kuletakkan bertumpu lutut, "seseorang tidak perlu memiliki rasa takut dalam hal apa pun? Bahkan berbuat jahat sekalipun? Seseorang tidak perlu takut untuk mencuri, membunuh, begitu?"
Lelaki berumur empat puluh lima tahun itu hanya tersenyum mendengar responku yang terkesan sentimentil. Sesaat ia menata beludru pecinya yang agak miring, lalu menengadah pada pucuk Tanjung yang tumbuh di depan rumah kami. Helai demi helai bunga pada pohon rindang itu entah bagaimana selalu memilih waktu berguguran tepat saat ruas cakrawala melukis magenta, dan esok pagi aku sudah terbiasa sibuk menyapunya. Pernah aku meminta pada Faiz, suamiku, untuk menebang saja pohon merepotkan itu. Semata-mata agar memiliki gairah positif di pagi hari tanpa perlu membersihkan sampah bunga kering dari Tanjung itu setiap waktu. Namun Faiz berdalih bahwa pohon itu musabab rumah kami tampak teduh dan membuat nyaman orang bertamu.
"Ya, memang benar," tandas Daeng. Sontak aku terkesiap, karena kukira orang seperti Daeng Zaid yang notabene menjadi panutan kampung ini tak masuk akal andai melazimkan kejahatan. "Seseorang tidak perlu takut jika ingin mencuri ataupun membunuh. Tapi persoalannya adalah ia harus berpikir, apakah yang dilakukannya merugikan orang lain atau tidak? Baik, benar atau tidak?"
"Bertindak atas dasar baik dan benar saja akan menjadi relatif, bukan?"
Kalimatku itu nyaris bersamaan dengan hadirnya dua bocah lelaki berseragam putih hitam berlarian pada jalanan lengang. Di pundaknya tas kecil terombang-ambing diterpa angin. Kemudian salah satunya jatuh terjerembab ke dalam parit sebelum pagar rumah. Mereka terbahak ceria sebelum satu detik berikutnya mendadak wajahnya berubah pucat pasi saat tanpa sengaja melihat ke arah rumahku.
"Selamat sore, Pak guru..." sapa mereka canggung menundukkan wajah, layaknya baru saja kepergok mencuri rambutan. Dan lelaki di sampingku untuk kedua kalinya tersenyum.
"Selamat sore, jangan lari-lari nanti jatuh lagi."
Mereka serempak mengangguk dan kembali berlarian ceria. Agaknya anak-anak nakal itu menganggap nasihat gurunya sebagai angin lalu saja.
Daeng mendecak disertai gelengan maklum, lantas membasuh lagi kerongkongan dengan teh yang tampaknya tak lagi hangat. Meletakkan gelasnya tanpa denting di samping beberapa buku tafsir dalil miliknya di atas meja. "Eh, sampai di mana kita tadi?"
"Lupakan saja, Daeng," dengan segenap kemampuan kupaksa bibirku menyunggingkan senyum. "Apalah artinya ucapan dari orang seperti diriku."
"Ah," lelaki itu menggaruk dua bulatan hitam yang memberkas di kening, tampak sekali menyesal telah melewatkan perbincangan kami. "Oh, ya, mengenai baik dan benar yang relatif itu ya? Tidak sepenuhnya keliru, Nesa. Karena memang ada kebenaran yang bersifat kontekstual. Misal perbuatan-perbuatan tertentu dapat menjadi kebenaran di kampung ini, namun di tempat lain bisa saja tidak berarti apa-apa. Tapi kau harus tahu, ada kebaikan yang sifatnya universal, artinya di manapun tempat, kebaikan itu tetap menjadi kebaikan. Menolong orang yang kepayahan, bersedekah, atau bersikap sopan santun, misalnya. Bukankah tidak ada satu pun kepercayaan yang menentang kebaikan semacam itu?"
Aku menelan ludah, berlama-lama berdebat dengan orang yang selalu berkata bijak hanya akan membuatku semakin tersudut. "Kukira jika menurut Daeng suamiku di jalan yang salah, bukankah sebaiknya mengutarakan langsung padanya?"
Lelaki itu tampak berjengit dari tempat duduknya. Ia terperanjat baru menyadari jika maksudnya sudah kutebak sejak pertama kedatangannya. "Oh, sampai lupa! Aku memang hendak bertemu Faiz. Dua minggu sudah ia tak kelihatan dalam pengajian."
"Sayang sekali ia tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini ia sibuk bekerja sampai malam larut."
Daeng menoleh, seolah sedang membaca pikiranku melalui sorot lekat matanya. Lalu mengerjap seperti tahu ketidaknyamananku. "Baiklah, katakan padanya besok aku ingin menemuinya."
"Akan kuusahakan, tapi aku tidak berjanji jikalau suamiku mau datang menemui Daeng."
"Jangan khawatir, kau hanya perlu menyampaikan pesanku."
Lelaki itu berdiri dan meraih buku-bukunya. Kujawab salamnya lantas ia berjalan tanpa menoleh hingga siluetnya lenyap ditelan simpang jalan.
***
Seperti biasa sebelum Faiz berangkat kerja, aku selalu menyiapkan sarapan untuknya. Tapi pagi ini ia hanya memintaku membuatkan kopi, karena ia harus buru-buru. Ketika kuletakkan kopi di meja makan, Faiz sedang membolak-balik koran hari ini. Sesekali ia akan mengangkat pergelangan tangan untuk memastikan waktunya masih tersedia.
"Bukan main!" desisnya sarkastis. Sementara ia mengerucutkan bibir, aku mengerutkan dahi.
"Ada apa, Iz?"
"Lihatlah," Faiz menyodorkan salah satu kolom pada koran itu. Tulisannya tak bisa kubaca, tapi gambarnya cukup jelas, seorang perempuan paruh baya yang masih tampak begitu cantik dengan rambut keriting panjang yang pada bagian bawahnya berwarna merah kecokelatan. "Wanita ini baru saja mengadakan lomba melukis wajah nabi. Benar-benar bukan main!"
Aku mendesah, sejujurnya berita itu sudah ada di televisi sejak tempo hari dan aku sudah menyaksikannya, jadi aku tak begitu heran. Lagipula selama ini telah banyak kejadian-kejadian serupa yang menurutku hanya bentuk provokasi murahan yang tidak perlu direspon.
Sekali lagi Faiz mengangkat arloji di tangannya lalu menggamit cangkir kopi, "Aku harus berangkat."
Saat itulah pikiranku berhasil mengingat sesuatu. "Ah, Iz... Kemarin sore Daeng datang bertamu dan katanya ingin bertemu denganmu. Tapi sudah kukatakan bahwa kau akhir-akhir ini sangat sibuk, jadi kurasa dia bisa mengerti."
Di tenggorokan suamiku, kopi itu tertelan secara tidak normal. Jakunnya bergerak naik pelan sekali seakan melarutkan pikir di antaranya. "Kenapa tidak mengatakannya semalam, Nesa?"
"Kau tampak lelah sekali, lagipula apa pentingnya? Aku tidak begitu menyukai Daeng, ia terlihat seperti orang yang membencimu."
Bertolak belakang dari dugaanku yang mengira Faiz tak akan ambil pusing dan tetap melakukan rutinitas hariannya. Yang terjadi, ia justru membanting tas kerjanya di kursi dan matanya seperti tengah menerawang. Detik berikutnya ia sudah melangkah setengah berlari keluar rumah dengan raut yang sulit kuterjemahkan.
***
Setelan bajunya telah kumal saat kupapah Faiz dari kepergiannya yang sia-sia. Sengat terik matahari melumuri keringat di sekujur tubuhnya. Ketika kutanya apa yang telah Daeng katakan padanya, Faiz menggeleng lemah.
"Pintu rumahnya terkunci."
Dapat kulihat bagaimana seharian itu tubuhnya bergerak lunglai. Layaknya rangka tanpa jiwa. Ia mencopot sepatu, menghempas baju ke tumpukan pakaian kotor, dan memilih mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku mencoba menenangkan pikirannya, "sudahlah, tak perlu dirisaukan. Mungkin Daeng tidak bersungguh-sungguh ingin menemuimu." Tapi itu tak berarti apa-apa bagi Faiz. Ia tetap bungkam dalam geming duduknya.
Hingga di sore yang serupa dengan sore hari lalu, aku dan Faiz duduk mematung di teras rumah. Berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Tak kuhiraukan aroma Tanjung yang lebih menyengat karena menumpuk luput kusemai pagi tadi. Juga sore yang lebih temaram oleh awan menggumpal-gumpal. Sosok itu muncul dari persimpangan jalan dengan langkah pasti. Lalu lututku seperti dipukul pelan tangan Faiz. Ketika menoleh, kudapati simpul senyum di bibir suamiku.
Aku baru menyelinap ke dalam rumah saat sosok itu menjabat hangat tangan Faiz. "Kuharap istrimu sudah menyampaikan pesanku."
Setelah itu aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Sekecil dan selihai apa pun caraku agar sendok yang kugunakan untuk melarutkan gula tidak menyentuh dinding gelas, nyatanya aku tetap tidak mampu mendengar percakapan mereka.
Tahulah ketika perlahan aku membawa nampan berisi dua gelas ke ruang tamu, dua lelaki itu saling berhadapan dengan jarak wajah tak lebih dari sedepa, dan tengah berbisik pelan. Mereka baru serempak menarik dan menyandarkan tubuh saat kutaruh gelas di atas meja sembari mempersilakan.
Selepas itu aku memilih berdiri di sebalik tirai kamar berharap dapat mencuri dengar.
"Katakan apa yang tak diketahui istrimu," Daeng menyodorkan wajahnya, andai pendengaranku bermasalah mestilah yang terdengar dari mulut Daeng hanya seumpama desisan ular. Aku mulai sedikit khawatir karena respon Faiz justru menoleh, memastikan ketidakberadaanku, lantas kembali berbisik.
"Apa maksud Daeng?"
"Kau tidak benar-benar sibuk, beberapa waktu lalu seseorang memberitahuku bahwa kau seringkali mengendap-endap di rumah Pak Balia."
Bahu Faiz tampak berguncang, jelas ia telah menyembunyikan sesuatu dari semua orang. "Begini, Daeng... semua orang tahu siapa Pak Balia, ia tetua yang masih menganut tradisi kolot itu. Yang mengkhawatirkan, akhir-akhir ini banyak pemuda yang datang berkunjung ke sana. Aku ingin tahu apa yang mereka lakukan di tempat itu."
"Dan itu yang selama ini kau lakukan? Mengintai?"
Faiz tampak merasa bersalah, namun mengangguk takut-takut. "Ini kulakukan untuk kebaikan kampung ini, Daeng."
"Lalu sekarang apa rencanamu?"
"Kita mesti melakukan musyawarah dan memikirkan bagaimana caranya membubarkan perkumpulan itu."
Daeng mendesah pelan, "setelah sekian banyak orang yang berupaya membenturkan agama dan tradisi, terlalu lelah oleh seringnya mencari titik paling benar, sehingga noktah kekeliruan selalu menguak. Sekarang kau pun melakukannya."
"Daeng," Faiz menekan kata-katanya, "pilihannya adalah tradisi mereka yang harus dihilangkan, atau agama kita tidak akan pernah diterima di kampung ini. Perkumpulan itu bisa mengancam..."
"Ya!" potong Daeng Zaid, "itulah poin pentingnya, kau sedang merasa terancam. Kadang kita tak pernah sadar bahwa cara kita meyakini sesuatu, membuat kita dalam posisi selalu terancam, ditakut-takuti. Kita selalu benar, dan yang salah harus dimusnahkan."
"Tapi..."
"Mungkin kau berpikir akan segera melakukan perjuangan, padahal yang terjadi sebenarnya kau baru saja dikalahkan."
Faiz tertunduk seketika. Udara di tiap sudut ruangan seakan berkompromi untuk menyungkup suara-suara. Hening mengundang canggung. Bahkan aku yang sedari tadi terpaku di balik tirai kamar tak tega untuk sekadar menarik napas. Hanya tepukan yang dapat terdengar, dari celah tirai aku melihat Daeng Zaid tengah memukul pelan pundak suamiku.
"Sebenarnya kedatanganku bukan untuk itu, melainkan untuk berpamitan. Besok aku harus berlayar ke Makassar. Tugasku di sini sudah selesai. Pilihlah jalan terbaik, maka aku percaya kau dapat membuat kampung ini menjadi lebih baik."
Faiz mendongak, lebih terkejut dari sebelumnya. Bersamaan dengan itu, Daeng memanggil namaku dengan suara normal. Tanpa sepatah kata aku duduk di samping suamiku. Sekali lagi Daeng menepuk bahu Faiz sebelum mengucapkan salam.
"Datanglah ke pengajian, ajak mereka untuk merangkul semua, dan belajar dari Sunan Kalijaga."
Dan Daeng meninggalkan kami yang tertunduk di kursi masing-masing. Sesekali aku mengamati Faiz, demi memastikan ia baik-baik saja. Tapi ia hanya tertunduk sampai suara gaduh tiba-tiba datang dari depan rumah kami. Aku dan Faiz tersentak, lalu melihat keluar pintu. Jalanan pepat dipenuhi oleh orang-orang berlarian. Kami bingung apa yang sedang terjadi.
Akhirnya Faiz menuntunku untuk masuk dalam rombongan itu. Kami berlari namun tak tahu entah kemana. Hingga Mak Cik Nem, tetangga selang satu rumah, dihentikan langkahnya oleh Faiz.
"Ada apa Mak Cik? Kalian mau kemana?"
Ia memandangi kami bergantian seraya mengatur napas, "kalian tidak tahu kalau kita akan berziarah?"
"Berziarah? Siapa yang meninggal?" tanyaku.
"Daeng Zaid. Kalian harus bergegas, truk Pak Mantri sudah menunggu kita. Karena besok jenazahnya sudah dibawa ke Makassar."
Sontak saja tubuh kami berguncang. Mak Cik Nem mengamati keganjilan ekspresi kami. "Jangan bilang kalau kalian juga tidak tahu sudah sebulan Daeng dirawat di rumah sakit," Mak Cik mendengus, "itulah makanya sering berkumpul di balai, atau paling tidak hadir dalam pengajian."
Hingga Mak Cik sudah berlari mengikuti yang lainnya, aku dan Faiz masih berdiri kaku. Kami brrsitatap lama, sebagaimana aku, dari mata Faiz kulihat pertanyaan yang sama... Lantas siapa yang beberapa hari terakhir bertandang ke rumah kami?***
*Kupersembahkan cerpen ini untuk desa kecil di sudut Kuantan Singingi, Marsawa
Relly A. Vinata
Beberapa hari lalu ucapan itu keluar dari mulut Daeng Zaid. Saat ia baru saja pulang mengajar madrasah dan melihatku duduk terpekur di teritis rumah. Ia memilih singgah sebentar. Sebagai tamu, kupersilakan ia masuk, namun Daeng menolak dan memilih duduk di serambi. Takut jadi sumber fitnah, katanya.
Nasihat yang sebenarnya tidak ditujukan padaku itu terlontar di sela-sela sesapan teh yang kusuguhkan. Sebagai kalimat pembuka dari orang yang dikenal tak suka basa-basi. Aku tahu Daeng sedang menyindir suamiku, dan sedikit banyak hal itu menimbulkan rasa tidak terima di benakku.
"Lalu menurut Daeng," aku meremas jemari yang kuletakkan bertumpu lutut, "seseorang tidak perlu memiliki rasa takut dalam hal apa pun? Bahkan berbuat jahat sekalipun? Seseorang tidak perlu takut untuk mencuri, membunuh, begitu?"
Lelaki berumur empat puluh lima tahun itu hanya tersenyum mendengar responku yang terkesan sentimentil. Sesaat ia menata beludru pecinya yang agak miring, lalu menengadah pada pucuk Tanjung yang tumbuh di depan rumah kami. Helai demi helai bunga pada pohon rindang itu entah bagaimana selalu memilih waktu berguguran tepat saat ruas cakrawala melukis magenta, dan esok pagi aku sudah terbiasa sibuk menyapunya. Pernah aku meminta pada Faiz, suamiku, untuk menebang saja pohon merepotkan itu. Semata-mata agar memiliki gairah positif di pagi hari tanpa perlu membersihkan sampah bunga kering dari Tanjung itu setiap waktu. Namun Faiz berdalih bahwa pohon itu musabab rumah kami tampak teduh dan membuat nyaman orang bertamu.
"Ya, memang benar," tandas Daeng. Sontak aku terkesiap, karena kukira orang seperti Daeng Zaid yang notabene menjadi panutan kampung ini tak masuk akal andai melazimkan kejahatan. "Seseorang tidak perlu takut jika ingin mencuri ataupun membunuh. Tapi persoalannya adalah ia harus berpikir, apakah yang dilakukannya merugikan orang lain atau tidak? Baik, benar atau tidak?"
"Bertindak atas dasar baik dan benar saja akan menjadi relatif, bukan?"
Kalimatku itu nyaris bersamaan dengan hadirnya dua bocah lelaki berseragam putih hitam berlarian pada jalanan lengang. Di pundaknya tas kecil terombang-ambing diterpa angin. Kemudian salah satunya jatuh terjerembab ke dalam parit sebelum pagar rumah. Mereka terbahak ceria sebelum satu detik berikutnya mendadak wajahnya berubah pucat pasi saat tanpa sengaja melihat ke arah rumahku.
"Selamat sore, Pak guru..." sapa mereka canggung menundukkan wajah, layaknya baru saja kepergok mencuri rambutan. Dan lelaki di sampingku untuk kedua kalinya tersenyum.
"Selamat sore, jangan lari-lari nanti jatuh lagi."
Mereka serempak mengangguk dan kembali berlarian ceria. Agaknya anak-anak nakal itu menganggap nasihat gurunya sebagai angin lalu saja.
Daeng mendecak disertai gelengan maklum, lantas membasuh lagi kerongkongan dengan teh yang tampaknya tak lagi hangat. Meletakkan gelasnya tanpa denting di samping beberapa buku tafsir dalil miliknya di atas meja. "Eh, sampai di mana kita tadi?"
"Lupakan saja, Daeng," dengan segenap kemampuan kupaksa bibirku menyunggingkan senyum. "Apalah artinya ucapan dari orang seperti diriku."
"Ah," lelaki itu menggaruk dua bulatan hitam yang memberkas di kening, tampak sekali menyesal telah melewatkan perbincangan kami. "Oh, ya, mengenai baik dan benar yang relatif itu ya? Tidak sepenuhnya keliru, Nesa. Karena memang ada kebenaran yang bersifat kontekstual. Misal perbuatan-perbuatan tertentu dapat menjadi kebenaran di kampung ini, namun di tempat lain bisa saja tidak berarti apa-apa. Tapi kau harus tahu, ada kebaikan yang sifatnya universal, artinya di manapun tempat, kebaikan itu tetap menjadi kebaikan. Menolong orang yang kepayahan, bersedekah, atau bersikap sopan santun, misalnya. Bukankah tidak ada satu pun kepercayaan yang menentang kebaikan semacam itu?"
Aku menelan ludah, berlama-lama berdebat dengan orang yang selalu berkata bijak hanya akan membuatku semakin tersudut. "Kukira jika menurut Daeng suamiku di jalan yang salah, bukankah sebaiknya mengutarakan langsung padanya?"
Lelaki itu tampak berjengit dari tempat duduknya. Ia terperanjat baru menyadari jika maksudnya sudah kutebak sejak pertama kedatangannya. "Oh, sampai lupa! Aku memang hendak bertemu Faiz. Dua minggu sudah ia tak kelihatan dalam pengajian."
"Sayang sekali ia tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini ia sibuk bekerja sampai malam larut."
Daeng menoleh, seolah sedang membaca pikiranku melalui sorot lekat matanya. Lalu mengerjap seperti tahu ketidaknyamananku. "Baiklah, katakan padanya besok aku ingin menemuinya."
"Akan kuusahakan, tapi aku tidak berjanji jikalau suamiku mau datang menemui Daeng."
"Jangan khawatir, kau hanya perlu menyampaikan pesanku."
Lelaki itu berdiri dan meraih buku-bukunya. Kujawab salamnya lantas ia berjalan tanpa menoleh hingga siluetnya lenyap ditelan simpang jalan.
***
Seperti biasa sebelum Faiz berangkat kerja, aku selalu menyiapkan sarapan untuknya. Tapi pagi ini ia hanya memintaku membuatkan kopi, karena ia harus buru-buru. Ketika kuletakkan kopi di meja makan, Faiz sedang membolak-balik koran hari ini. Sesekali ia akan mengangkat pergelangan tangan untuk memastikan waktunya masih tersedia.
"Bukan main!" desisnya sarkastis. Sementara ia mengerucutkan bibir, aku mengerutkan dahi.
"Ada apa, Iz?"
"Lihatlah," Faiz menyodorkan salah satu kolom pada koran itu. Tulisannya tak bisa kubaca, tapi gambarnya cukup jelas, seorang perempuan paruh baya yang masih tampak begitu cantik dengan rambut keriting panjang yang pada bagian bawahnya berwarna merah kecokelatan. "Wanita ini baru saja mengadakan lomba melukis wajah nabi. Benar-benar bukan main!"
Aku mendesah, sejujurnya berita itu sudah ada di televisi sejak tempo hari dan aku sudah menyaksikannya, jadi aku tak begitu heran. Lagipula selama ini telah banyak kejadian-kejadian serupa yang menurutku hanya bentuk provokasi murahan yang tidak perlu direspon.
Sekali lagi Faiz mengangkat arloji di tangannya lalu menggamit cangkir kopi, "Aku harus berangkat."
Saat itulah pikiranku berhasil mengingat sesuatu. "Ah, Iz... Kemarin sore Daeng datang bertamu dan katanya ingin bertemu denganmu. Tapi sudah kukatakan bahwa kau akhir-akhir ini sangat sibuk, jadi kurasa dia bisa mengerti."
Di tenggorokan suamiku, kopi itu tertelan secara tidak normal. Jakunnya bergerak naik pelan sekali seakan melarutkan pikir di antaranya. "Kenapa tidak mengatakannya semalam, Nesa?"
"Kau tampak lelah sekali, lagipula apa pentingnya? Aku tidak begitu menyukai Daeng, ia terlihat seperti orang yang membencimu."
Bertolak belakang dari dugaanku yang mengira Faiz tak akan ambil pusing dan tetap melakukan rutinitas hariannya. Yang terjadi, ia justru membanting tas kerjanya di kursi dan matanya seperti tengah menerawang. Detik berikutnya ia sudah melangkah setengah berlari keluar rumah dengan raut yang sulit kuterjemahkan.
***
Setelan bajunya telah kumal saat kupapah Faiz dari kepergiannya yang sia-sia. Sengat terik matahari melumuri keringat di sekujur tubuhnya. Ketika kutanya apa yang telah Daeng katakan padanya, Faiz menggeleng lemah.
"Pintu rumahnya terkunci."
Dapat kulihat bagaimana seharian itu tubuhnya bergerak lunglai. Layaknya rangka tanpa jiwa. Ia mencopot sepatu, menghempas baju ke tumpukan pakaian kotor, dan memilih mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku mencoba menenangkan pikirannya, "sudahlah, tak perlu dirisaukan. Mungkin Daeng tidak bersungguh-sungguh ingin menemuimu." Tapi itu tak berarti apa-apa bagi Faiz. Ia tetap bungkam dalam geming duduknya.
Hingga di sore yang serupa dengan sore hari lalu, aku dan Faiz duduk mematung di teras rumah. Berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Tak kuhiraukan aroma Tanjung yang lebih menyengat karena menumpuk luput kusemai pagi tadi. Juga sore yang lebih temaram oleh awan menggumpal-gumpal. Sosok itu muncul dari persimpangan jalan dengan langkah pasti. Lalu lututku seperti dipukul pelan tangan Faiz. Ketika menoleh, kudapati simpul senyum di bibir suamiku.
Aku baru menyelinap ke dalam rumah saat sosok itu menjabat hangat tangan Faiz. "Kuharap istrimu sudah menyampaikan pesanku."
Setelah itu aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Sekecil dan selihai apa pun caraku agar sendok yang kugunakan untuk melarutkan gula tidak menyentuh dinding gelas, nyatanya aku tetap tidak mampu mendengar percakapan mereka.
Tahulah ketika perlahan aku membawa nampan berisi dua gelas ke ruang tamu, dua lelaki itu saling berhadapan dengan jarak wajah tak lebih dari sedepa, dan tengah berbisik pelan. Mereka baru serempak menarik dan menyandarkan tubuh saat kutaruh gelas di atas meja sembari mempersilakan.
Selepas itu aku memilih berdiri di sebalik tirai kamar berharap dapat mencuri dengar.
"Katakan apa yang tak diketahui istrimu," Daeng menyodorkan wajahnya, andai pendengaranku bermasalah mestilah yang terdengar dari mulut Daeng hanya seumpama desisan ular. Aku mulai sedikit khawatir karena respon Faiz justru menoleh, memastikan ketidakberadaanku, lantas kembali berbisik.
"Apa maksud Daeng?"
"Kau tidak benar-benar sibuk, beberapa waktu lalu seseorang memberitahuku bahwa kau seringkali mengendap-endap di rumah Pak Balia."
Bahu Faiz tampak berguncang, jelas ia telah menyembunyikan sesuatu dari semua orang. "Begini, Daeng... semua orang tahu siapa Pak Balia, ia tetua yang masih menganut tradisi kolot itu. Yang mengkhawatirkan, akhir-akhir ini banyak pemuda yang datang berkunjung ke sana. Aku ingin tahu apa yang mereka lakukan di tempat itu."
"Dan itu yang selama ini kau lakukan? Mengintai?"
Faiz tampak merasa bersalah, namun mengangguk takut-takut. "Ini kulakukan untuk kebaikan kampung ini, Daeng."
"Lalu sekarang apa rencanamu?"
"Kita mesti melakukan musyawarah dan memikirkan bagaimana caranya membubarkan perkumpulan itu."
Daeng mendesah pelan, "setelah sekian banyak orang yang berupaya membenturkan agama dan tradisi, terlalu lelah oleh seringnya mencari titik paling benar, sehingga noktah kekeliruan selalu menguak. Sekarang kau pun melakukannya."
"Daeng," Faiz menekan kata-katanya, "pilihannya adalah tradisi mereka yang harus dihilangkan, atau agama kita tidak akan pernah diterima di kampung ini. Perkumpulan itu bisa mengancam..."
"Ya!" potong Daeng Zaid, "itulah poin pentingnya, kau sedang merasa terancam. Kadang kita tak pernah sadar bahwa cara kita meyakini sesuatu, membuat kita dalam posisi selalu terancam, ditakut-takuti. Kita selalu benar, dan yang salah harus dimusnahkan."
"Tapi..."
"Mungkin kau berpikir akan segera melakukan perjuangan, padahal yang terjadi sebenarnya kau baru saja dikalahkan."
Faiz tertunduk seketika. Udara di tiap sudut ruangan seakan berkompromi untuk menyungkup suara-suara. Hening mengundang canggung. Bahkan aku yang sedari tadi terpaku di balik tirai kamar tak tega untuk sekadar menarik napas. Hanya tepukan yang dapat terdengar, dari celah tirai aku melihat Daeng Zaid tengah memukul pelan pundak suamiku.
"Sebenarnya kedatanganku bukan untuk itu, melainkan untuk berpamitan. Besok aku harus berlayar ke Makassar. Tugasku di sini sudah selesai. Pilihlah jalan terbaik, maka aku percaya kau dapat membuat kampung ini menjadi lebih baik."
Faiz mendongak, lebih terkejut dari sebelumnya. Bersamaan dengan itu, Daeng memanggil namaku dengan suara normal. Tanpa sepatah kata aku duduk di samping suamiku. Sekali lagi Daeng menepuk bahu Faiz sebelum mengucapkan salam.
"Datanglah ke pengajian, ajak mereka untuk merangkul semua, dan belajar dari Sunan Kalijaga."
Dan Daeng meninggalkan kami yang tertunduk di kursi masing-masing. Sesekali aku mengamati Faiz, demi memastikan ia baik-baik saja. Tapi ia hanya tertunduk sampai suara gaduh tiba-tiba datang dari depan rumah kami. Aku dan Faiz tersentak, lalu melihat keluar pintu. Jalanan pepat dipenuhi oleh orang-orang berlarian. Kami bingung apa yang sedang terjadi.
Akhirnya Faiz menuntunku untuk masuk dalam rombongan itu. Kami berlari namun tak tahu entah kemana. Hingga Mak Cik Nem, tetangga selang satu rumah, dihentikan langkahnya oleh Faiz.
"Ada apa Mak Cik? Kalian mau kemana?"
Ia memandangi kami bergantian seraya mengatur napas, "kalian tidak tahu kalau kita akan berziarah?"
"Berziarah? Siapa yang meninggal?" tanyaku.
"Daeng Zaid. Kalian harus bergegas, truk Pak Mantri sudah menunggu kita. Karena besok jenazahnya sudah dibawa ke Makassar."
Sontak saja tubuh kami berguncang. Mak Cik Nem mengamati keganjilan ekspresi kami. "Jangan bilang kalau kalian juga tidak tahu sudah sebulan Daeng dirawat di rumah sakit," Mak Cik mendengus, "itulah makanya sering berkumpul di balai, atau paling tidak hadir dalam pengajian."
Hingga Mak Cik sudah berlari mengikuti yang lainnya, aku dan Faiz masih berdiri kaku. Kami brrsitatap lama, sebagaimana aku, dari mata Faiz kulihat pertanyaan yang sama... Lantas siapa yang beberapa hari terakhir bertandang ke rumah kami?***
*Kupersembahkan cerpen ini untuk desa kecil di sudut Kuantan Singingi, Marsawa
Relly A. Vinata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar